Wednesday, March 18, 2015

Menunggu Bank “London” Syariah di Aceh?

5 Februari 2015

Ingatan saya melayang pada suatu diskusi terbatas yang diadakan oleh instansi pemerintah dan dihadiri oleh belasan tokoh mewakili perbankan, aktivis LSM, akademisi, pengusaha dan tokoh masyarakat. Ada satu pertanyaan dari peserta diskusi yang terkesan sederhana namun penting dan kemudian dijawab oleh peserta lain secara santai namun mengena. 


Pertanyaan saat itu adalah, “Mengapa kita harus menjalankan sistem ekonomi syariah atau Islam?”.

Jawabannya “Ya, karena kita kan orang Islam, tentunya harus patuh pada apa yang diatur oleh Islam”.

Menurut saya, jawaban singkat namun padat itu sudah cukup menjadi argumen kuat mengapa sistem ekonomi Islam menjadi sangat penting dan perlu diaplikasikan oleh kita umat Islam.

Sementara nun jauh disana, di bumi belahan Eropa, Perdana Menteri Inggris David Cameron dihadapan seribuan delegasi pada forum ekonomi Islam dunia, World Islamic Economic Forum (WIEF)  ke 9 di London yang saya kutip dari www.economist.com berkata, “Saya ingin London dapat berdiri berdampingan dengan Dubai sebagai salah satu ibu kota keuangan Islam terbesar berbagai negara di dunia”. Pernyataan itu disampaikan pada bulan 2 tahun lalu, tepatnya tanggal 29 Oktober 2013, di London, ibukota Inggris. Ini adalah WIEF pertama kali yang diselenggarakan di luar negara- negara Islam.

Menurut saya Cameron sangat sadar pentingnya sistem ekonomi dan keuangan Islam serta peranannya dalam perekonomian dunia, lantas ia pun memiliki mimpi agar negaranya mampu menyaingi negara- negara Islam dalam tatanan keuangan Islam dunia. Dan kita tahu Mister Cameron bukanlah seorang muslim.

Dua kisah di atas mungkin bisa menjawab urgensi penerapan sistem ekonomi syariah atau Islam, beserta turunannya berupa keuangan syariah, hingga perbankan syariah. Yang pertama adalah karena masalah substansial yaitu kita sebagai umat Islam yang wajib menjalankan ajarannya secara kaffah, dan yang kedua adalah masalah “pasar” atau konsumen keuangan syariah. Disini saya sekadar ingin berbagi tentang yang kedua, yaitu mengenai aspek pasar dalam praktik keuangan atau perbankan syariah.

Pertumbuhan Signifikan
Jika boleh mengutip World Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014, atau laporan Persaingan Bank Syariah Dunia,  yang memaparkan bahwa Indonesia bersama lima negara Islam lainnya mengalami pertumbuhan pasar perbankan syariah secara signifikan. Kita bersama bersama Qatar, Saudi Arabia, Malaysia, UEA dan Turki yang disingkat dengan QISMUT merupakan negara yang dianggap cukup penting karena tergolong ke dalam negara yang memiliki pertumbuhan pasar yang tinggi, atau dikenal dengan Rapid-Growth Market (RGM). Untuk masuk ke dalam RGM negara tersebut harus memenuhi kriteria diantaranya terbukti memiliki pertumbuhan yang tinggi serta potensinya, skala ekonomi dan jumlah populasi, dan kepentingan strategis untuk bisnis. QISMUT menjadi kelompok negara yang sangat penting bagi internasionalisasi industri perbankan Islam karena aset di enam negara ini berjumlah 78 persen dari seluruh perbankan syariah di dunia. Sementara total aset perbankan syariah di dunia mencapai US$1,7 Triliun, artinya QISMUT mendominasi total aset perbankan syariah dunia saat ini. Dan yang paling penting adalah bergairahnya perekonomian negara- negara ini serta pertumbuhan nasabah atau pasar untuk layanan keuangan yang tinggi menjadikan Indonesia sebagai prospek yang menarik bagi bank lain untuk memperbesar keuntungannya.

Fenomena bergairahnya keuangan dan bank syariah makin dilirik tidak hanya oleh negara- negara muslim namun juga negara- negara non-muslim di benua Eropa dan Amerika. Beberapa kajian juga sempat memaparkan bagaimana sistem keuangan syariah ternyata lebih tahan dalam menghadapi krisis ekonomi seperti yang terjadi di Eropa.

Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia sadar akan hal itu. Tapi mungkin agak berbeda dengan provinsi Aceh yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam plus diperkuat dengan adanya regulasi penerapan syariat Islam. Pemerintah Aceh belum sadar akan keunggulan sistem keuangan atau perbankan Islam atau mungkin pura- pura tidak sadar. Saya berkesimpulan seperti itu setelah melihat  dinamika tarik-ulur rencana pembentukan PT Bank Aceh Syariah (BAS).

Sejak tahun lalu saat draft rancangan qanun bank syariah sudah dibahas di gedung parlemen, lalu muncul wacana menarik kembali draft tersebut. Publik pun bereaksi. Ulama hingga akademisi unjuk suara melalui media massa menyayangkan keputusan tersebut dan hasilnya gubernur membatalkan niat tersebut. Alhasil di penghujung jabatan DPRA periode lalu draft qanun tersebut disahkan.


“Spin Off” Lebih Cocok
Pro-kontra tentang bank Aceh syariah berisikan tentang mekanisme yang harus ditentukan, pilih konversi atau spin off (pemisahan). Beberapa pakar perbankan berkomentar bahwa spin off lebih cocok karena dianggap relatif lebih aman. Lalu, diawal tahun 2015 disaat pemerintah sedang membahas RAPBA, muncul lagi tarik-ulur pendirian bank ini muncul lagi, kali ini berkaitan dengan besarnya penyertaan modal yang harus disetor pemerintah.
Wajar muncul pertanyaan mengapa rencana pembentukan BAS seperti “bermain layang-layang”, ditarik, lalu diulur tergantung angin. Atau ada masalah substansial apa yang membuat pemerintah Aceh ragu, yang kemudian memicu polemik di ruang publik. Dari beberapa informasi yang saya peroleh salah satu hal faktor krusial adalah karena ketidaksiapan internal atau pihak Bank Aceh sendiri.

Saat spin off menjadi pilihan maka ada sejumlah regulasi ketat yang harus dilalui, dan berbagai pra-syarat yang harus dipenuhi. Saya menduga pihak bank Aceh konvensional cenderung tidak siap dan takut bersaing “adik kandungnya” yang sedang ditunggu- tunggu oleh pasar. Ketakutan inilah yang kemudian diolah redaksinya agar terdengar lebih lembut ke telinga pembuat kebijakan.

Sebenarnya kehadiran BAS bukan hanya mampu mengusung sistem keuangan syariah tapi juga mampu mengoptimalkan pasar yang ada. Bukan hal mustahil dengan besarnya besarnya potensi pasar disini membuat bank- bank syariah lain berlomba- lomba beroperasi di Aceh, bahkan bank luar negeri sekalipun. Saya berandai- andai jika pemerintah Aceh tak serius mendirikan BAS, mungkin suatu saat nanti akan hadir Bank “London” Syariah di Aceh, mengingat betapa menggiurkannya pasar syariah saat ini seperti yang diutarakan oleh Perdana Menteri Gordon. Tanpa ada suatu brand lokal, takutnya nanti kita akan berkata (lagi) “Buya krueng teu dong- dong, buya tamong meuraseuki”.



*Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

(Tulisan ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Kamis, 5 Februari 2015)

1 comment: