5 Februari 2015
Ingatan saya melayang pada suatu diskusi terbatas yang diadakan oleh instansi pemerintah dan dihadiri oleh belasan tokoh mewakili perbankan, aktivis LSM, akademisi, pengusaha dan tokoh masyarakat. Ada satu pertanyaan dari peserta diskusi yang terkesan sederhana namun penting dan kemudian dijawab oleh peserta lain secara santai namun mengena.
Pertanyaan saat itu adalah, “Mengapa kita harus menjalankan
sistem ekonomi syariah atau Islam?”.
Jawabannya “Ya, karena kita kan orang Islam, tentunya harus patuh pada apa yang diatur oleh
Islam”.
Menurut saya, jawaban singkat namun padat itu sudah cukup
menjadi argumen kuat mengapa sistem ekonomi Islam menjadi sangat penting dan
perlu diaplikasikan oleh kita umat Islam.
Sementara nun jauh disana, di bumi belahan Eropa, Perdana
Menteri Inggris David Cameron dihadapan seribuan delegasi pada forum ekonomi
Islam dunia, World Islamic Economic Forum
(WIEF) ke 9 di London yang saya
kutip dari www.economist.com berkata,
“Saya ingin London dapat berdiri berdampingan dengan Dubai sebagai salah satu ibu
kota keuangan Islam terbesar berbagai negara di dunia”. Pernyataan itu
disampaikan pada bulan 2 tahun lalu, tepatnya tanggal 29 Oktober 2013, di
London, ibukota Inggris. Ini adalah WIEF pertama kali yang diselenggarakan di
luar negara- negara Islam.
Menurut saya Cameron sangat sadar pentingnya sistem ekonomi
dan keuangan Islam serta peranannya dalam perekonomian dunia, lantas ia pun
memiliki mimpi agar negaranya mampu menyaingi negara- negara Islam dalam
tatanan keuangan Islam dunia. Dan kita tahu Mister Cameron bukanlah seorang
muslim.
Dua kisah di atas mungkin bisa menjawab urgensi penerapan
sistem ekonomi syariah atau Islam, beserta turunannya berupa keuangan syariah,
hingga perbankan syariah. Yang pertama adalah karena masalah substansial yaitu
kita sebagai umat Islam yang wajib menjalankan ajarannya secara kaffah, dan yang kedua adalah masalah “pasar”
atau konsumen keuangan syariah. Disini saya sekadar ingin berbagi tentang yang
kedua, yaitu mengenai aspek pasar dalam praktik keuangan atau perbankan
syariah.
Pertumbuhan
Signifikan
Jika boleh mengutip World
Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014, atau laporan Persaingan
Bank Syariah Dunia, yang memaparkan
bahwa Indonesia bersama lima negara Islam lainnya mengalami pertumbuhan pasar
perbankan syariah secara signifikan. Kita bersama bersama Qatar, Saudi Arabia,
Malaysia, UEA dan Turki yang disingkat dengan QISMUT merupakan negara yang
dianggap cukup penting karena tergolong ke dalam negara yang memiliki
pertumbuhan pasar yang tinggi, atau dikenal dengan Rapid-Growth Market (RGM). Untuk masuk ke dalam RGM negara tersebut
harus memenuhi kriteria diantaranya terbukti memiliki pertumbuhan yang tinggi
serta potensinya, skala ekonomi dan jumlah populasi, dan kepentingan strategis
untuk bisnis. QISMUT menjadi kelompok negara yang sangat penting bagi
internasionalisasi industri perbankan Islam karena aset di enam negara ini
berjumlah 78 persen dari seluruh perbankan syariah di dunia. Sementara total
aset perbankan syariah di dunia mencapai US$1,7 Triliun, artinya QISMUT
mendominasi total aset perbankan syariah dunia saat ini. Dan yang paling
penting adalah bergairahnya perekonomian negara- negara ini serta pertumbuhan
nasabah atau pasar untuk layanan keuangan yang tinggi menjadikan Indonesia
sebagai prospek yang menarik bagi bank lain untuk memperbesar keuntungannya.
Fenomena bergairahnya keuangan dan bank syariah makin
dilirik tidak hanya oleh negara- negara muslim namun juga negara- negara
non-muslim di benua Eropa dan Amerika. Beberapa kajian juga sempat memaparkan bagaimana
sistem keuangan syariah ternyata lebih tahan dalam menghadapi krisis ekonomi
seperti yang terjadi di Eropa.
Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim
terbesar di dunia sadar akan hal itu. Tapi mungkin agak berbeda dengan provinsi
Aceh yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam plus diperkuat dengan adanya
regulasi penerapan syariat Islam. Pemerintah Aceh belum sadar akan keunggulan
sistem keuangan atau perbankan Islam atau mungkin pura- pura tidak sadar. Saya
berkesimpulan seperti itu setelah melihat
dinamika tarik-ulur rencana pembentukan PT Bank Aceh Syariah (BAS).
Sejak tahun lalu saat draft rancangan qanun bank syariah
sudah dibahas di gedung parlemen, lalu muncul wacana menarik kembali draft
tersebut. Publik pun bereaksi. Ulama hingga akademisi unjuk suara melalui media
massa menyayangkan keputusan tersebut dan hasilnya gubernur membatalkan niat
tersebut. Alhasil di penghujung jabatan DPRA periode lalu draft qanun tersebut
disahkan.
“Spin Off” Lebih
Cocok
Pro-kontra tentang bank Aceh syariah berisikan tentang
mekanisme yang harus ditentukan, pilih konversi atau spin off (pemisahan). Beberapa pakar perbankan berkomentar bahwa spin off lebih cocok karena dianggap
relatif lebih aman. Lalu, diawal tahun 2015 disaat pemerintah sedang membahas
RAPBA, muncul lagi tarik-ulur pendirian bank ini muncul lagi, kali ini
berkaitan dengan besarnya penyertaan modal yang harus disetor pemerintah.
Wajar muncul pertanyaan mengapa rencana pembentukan BAS
seperti “bermain layang-layang”, ditarik, lalu diulur tergantung angin. Atau
ada masalah substansial apa yang membuat pemerintah Aceh ragu, yang kemudian
memicu polemik di ruang publik. Dari beberapa informasi yang saya peroleh salah
satu hal faktor krusial adalah karena ketidaksiapan internal atau pihak Bank
Aceh sendiri.
Saat spin off
menjadi pilihan maka ada sejumlah regulasi ketat yang harus dilalui, dan
berbagai pra-syarat yang harus dipenuhi. Saya menduga pihak bank Aceh
konvensional cenderung tidak siap dan takut bersaing “adik kandungnya” yang
sedang ditunggu- tunggu oleh pasar. Ketakutan inilah yang kemudian diolah
redaksinya agar terdengar lebih lembut ke telinga pembuat kebijakan.
Sebenarnya kehadiran BAS bukan hanya mampu mengusung sistem
keuangan syariah tapi juga mampu mengoptimalkan pasar yang ada. Bukan hal
mustahil dengan besarnya besarnya potensi pasar disini membuat bank- bank
syariah lain berlomba- lomba beroperasi di Aceh, bahkan bank luar negeri
sekalipun. Saya berandai- andai jika pemerintah Aceh tak serius mendirikan BAS,
mungkin suatu saat nanti akan hadir Bank “London” Syariah di Aceh, mengingat
betapa menggiurkannya pasar syariah saat ini seperti yang diutarakan oleh
Perdana Menteri Gordon. Tanpa ada suatu brand
lokal, takutnya nanti kita akan berkata (lagi) “Buya krueng teu dong- dong, buya tamong meuraseuki”.
*Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
(Tulisan ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Kamis, 5 Februari 2015)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete