Sunday, June 29, 2014

Aya dan Temannya

Salah satu perhatian penting orangtua terhadap anaknya adalah mengetahui dengan siapa mereka berteman dan bermain. Sebagai Ayah, saya sering memperhatikan anak yang sedang bermain, saya juga sering curi-dengar apa yang dibicarakan anak-anak dengan temannya. Ada yang lucu, aneh keluar dari mulut-mulut mungil mereka. Saya juga sering khawatir dan ikut "jantungan" saat mereka bereksperimen permainan baru. Apalagi, kalo melihat Rafa yang baru berusia 3 tahun, mulai rajin salto. Entah siapa yang dilihatnya, padahal, saya gak pernah salto dihadapan mereka, selain karena faktor usia, juga karena tak selincah mereka. Jika saltonya atau jungkir balik di atas tempat tidur, saya masih agak tenang, tapi saat melihat dia ancang-ancang salto di lantai, saya siap-siap melarang. Ada yang bilang, anak-anak tak boleh dilarang, tapi sebagai orang tua, kita perlu tahu mana yang dibolehkan dan mana yang harus dilarang. Untuk seumur Rafa, salto di lantai, saya haqqul yaqin itu harus dilarang. Setelah itu biasanya saya kasih alternatif aktivitas lain.

Baru-baru ini, Aya, putri saya yang berusia 6 tahun, masih TK, punya teman perempuan baru, yang usia 2 tahun di atas Aya, dan sekarang sudah kelas 2 SD. Sebut saja namanya Bela. Saya tak kenal orang tuanya, tapi mereka penghuni baru di komplek kami, yang rumahnya berada sekitar 50 meter dari rumah kami. Yang mengejutkan, ini serius membuat saya terkejut, atau tepatnya shock, Bela yang kelas 2 SD ini ternyata belum bisa membaca. Menurut saya, kalo masih kelas 1 belum bisa membaca, It's OK, karena masih belajar. Tapi, kalo kelas 2, saya bertanya dalam hati dan sering berdiskusi dengan istri saya. Dan kalo dia tak bisa membaca, kenapa dia bisa naik ke kelas 2?

Aya, mungkin agak unik. Walaupun secara khusus kami tak pernah mengajarinya baca-tulis, tapi kami membiarkan Aya mencorat-coret dinding sesukanya. Boleh pake pensil, spidol, crayon, dll. Walaupun terkadang, jadi gak enak saat tamu atau saudara datang mendapati rumah kami mulai dari ruang tamu hingga kamar tidur sudah seperti gallery lukisan abstrak. Dan, awal Aya bisa menulis namanya, ya di dinding rumah kami. Dengan bangga ia pamerkan kepada kami saat pertama kali ia berhasil menuliskan "AYA" (pakai huruf besar semua). Selain itu saya dan istri punya hobi membaca, juga sering membacakan cerita, dongeng, dari buku menjelang mereka tidur. Saya rasa kebiasaan melihat orang tuanya membaca, dan mendengarkan cerita sebelum tidur membuat Aya punya motivasi yang kuat untuk bisa membaca. Alhasil, tiap malam sebelum tidur Aya minta dibacakan cerita apa saja, baik dongeng, kisah-kisah teladan, dan lain-lain, yang penting ada sesuatu yang harus dibacakan.

Mungkin juga karena bebas menggambar di dinding, saya melihat Aya punya bakat menggambar. Sering ia menulis atau menggambar sesuatu di kertas kecil dan diwarnai, lalu memberikan kepada sebagai hadiah. Karya dan gambar Aya adalah cara dia mengekspresikan sayangnya kepada orang lain dengan memberikan sesuatu. Ya, dengan gambar atau tulisan. Pernah, dengan bangga ia tuliskan nama abang sepupunya di sebuah kertas, dan dengan penuh kebanggan menyerahkan kepada sepupu tersebut sebagai hadiah. Mungkin bagi mereka itu biasa, tapi bagi saya itu luar biasa.

Kembali ke Bela teman baru Aya. Karena agak susah bagi orang tua melarang anaknya bermain dengan siapa, karena di tempat tinggal kami anak-anak seusianya agak langka. Selain, kami tak ingin membiasakan anak-anak nonton TV, maka kami lebih memilih opsi anak bermain-main, berinteraksi secara langsung dengan temannya. Tapi saya dan istri tetap memantau. Jika mereka bermain di dalam rumah masih mudah dipantau, tapi saat bermain di luar rumah, kami sering mengintip dari jendela mereka dimana, atau sedang bermain apa. Apalagi, beberapa kasus di media tentang kekerasan terhadap anak makin membuat orang tua khawatir dan resah.

Istri saya pernah bilang, "Kita harus bisa memberikan pengaruh baik kepada teman anak-anak kita sebagai pencegahan agar anak kita tidak terpengaruh hal-hal yang tidak baik." Salah satu hal luar biasa yang sedang dan telah dilakukan istri saya adalah ia menjadi "relawan" yang mengajari Bela membaca. Disaat mereka bermain, ada waktu tertentu dimana istri saya mengajari Bela, tidak lama, sekitar 30an menit. Dan kita juga kaget, ternyata Bela bukan hanya tak bisa membaca, tapi juga tak hafal huruf. Dia masih susah membedakan "C" dan "G". Sesekali Rafa, anak laki-laki saya yang berusia 3 tahun ikut nimbrung memberitahukan bacaan yang tepat, walaupun masih cadel. Dampak positif lainnya, selain mengajarkan Bela, secara tidak langsung Rafa jadi ikut semangat melihat orang belajar. Ia mulai bisa membaca beberapa huruf.

Beberapa minggu lalu, anak SD sedang ujian naik kelas. Saya sempat tanya ke Bela, "Besok ada ujian apa Nak?" Dia jawab "Itu..tu ujian yang ada isi-isinya". Saya terdiam dan berfikir entah siapa yang patut disalahkan. Apakah sang anak, orangtua, guru, pihak sekolah atau sistem pendidikan? Bela, bahkan dia tidak tahu akan ujian apa esok hari, sementara sudah kelas 2.

Oiya, beberapa saat lalu anak SD sudah dibagi rapornya. Dan lagi-lagi saya kaget, ternyata Bela naik kelas 3. Selamat Bela, walau engkau belum bisa membaca.