Wednesday, March 18, 2015

Mau Dibawa Kemana Perekonomian Kita? (‘Outlook’ Ekonomi Aceh 2015)

Senin, 5 Januari 2015

SAYA termasuk orang yang sependapat bahwa final piala Champion Eropa yang paling dramatis adalah saat Manchester United (MU) melawan Bayern Munchen di stadion Camp Nou, Barcelona pada 26 Mei 1999 silam. MU secara menakjubkan mampu membalikkan keadaan dari tertinggal 0-1 dan menjadi jawara liga paling bergengsi di Eropa itu di saat injury time. Saat tertinggal 0-1, manajer MU saat itu Alex Ferguson mengubah strategi dan taktik. Ia menukar Blomqvist dengan Teddy Sheringham dan mengganti Andy Cole dengan Ole Gunnar Solksjaer. Secara normal waktu telah berakhir, namun masih ada bonus injury time 3 menit. Ternyata 3 menit mampu dimanfaatkan MU dengan sangat efektif.


Keajaiban terjadi saat pemain pengganti Sheringham mencetak gol penyeimbang menjadi 1-1. Keajaiban untuk MU belum berakhir tatkala Solkjaer yang juga pemain pengganti menjadi penentu kemenangan 2-1, membawa MU resmi menjadi juara. Tidak hanya saya yang sangat terkesan dengan pertandingan ini, bahkan bagi wasit plontos yang terkenal tegas, Pierluigi Collina, mencatat pertandingan ini sebagai pertandingan yang paling dikenang selama ia menjadi hakim di lapangan hijau. Terakhir, sang penjaga gawang Peter Schmeichel juga memutuskan gantung sepatu. Ini adalah final terakhirnya.

Tak jauh beda
Itu cerita tentang sepakbola, untuk konteks Aceh dan pembangunannya saya rasa tak jauh beda. Tahun 2015 ini adalah tahun ketiga bagi pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Walaupun masih pertengahan periode, tapi bagi saya catatan dan capaian pemerintah Aceh dari segi ekonomi pada 2014 lalu masih jauh dari harapan. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan terburuk sepanjang mereka memegang tampuk pemerintahan.
Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Memang kinerja perekonomian bisa diukur oleh beberapa indikator ekonomi yang menjadi cerminan kegiatan ekonomi di masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dipakai dan dianggap sebegai indikator terpenting untuk menilai pencapaian ekonomi suatu negara atau daerah.
Saat mengukur perekonomian Aceh, tentu kita tidak bisa lepas dari kondisi perekonomian Indonesia, dan internasional. Untuk konteks Indonesia, beberapa lembaga memprediksi perekonomian Indonesia pada 2015 ini akan lebih baik dari sebelumnya. Lembaga seperti ADB dan The World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 5,6%. Dari sisi investasi walaupun masih lemah, namun dari sisi ekspor cenderung lebih baik, mengingat perekonomian global seperti Amerika Serikat yang menunjukkan trend positif. Walaupun nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar sempat tembus ke angka psikologi Rp 13.000, namun beberapa pakar sepakat bahwa perekonomian Indonesia secara makro diperkirakan akan lebih baik.

Berbanding terbalik dengan proyeksi ekonomi nasional dan global, saya justru agak pesimis dengan pertumbuhan ekonomi Aceh yang secara “konsisten” mengalami penurunan. Jika merujuk pada “Catatan Akhir 2014 dan Outlook Perekonomian Aceh 2015” yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), perekonomian Aceh tahun lalu mengalami penurunan. BI memperkirakan sampai akhir 2014 pertumbuhan ekonomi kita berada pada angka 3,24% (Serambi, 29/12/2014).

Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga dan pemerintah memiliki share 64% bagi ekonomi Aceh. Konsumsi rumah tangga mengalami stagnansi, sementara untuk sisi konsumsi pemerintah mengalami penurunan yang disebabkan oleh penyerapan anggaran pemerintah Aceh yang tidak mampu mencapai target. Lalu angka ekspor yang menurun juga berkontribusi terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi. Namun yang lebih parah adalah pertumbuhan investasi yang mengalami penurunan cukup signifikan dari 16,7 menjadi 4,8%. Hal ini dipicu oleh menurunnya pertumbuhan investasi baik pemodal asing maupun dalam negeri.

Dari sisi penawaran, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yaitu sektor pertanian juga mengalami perlambatan, salah satunya karena adanya bencana alam seperti kekeringan. Intinya, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2015 ini akan tumbuh sebesar 2,9 sampai 3,3%. Angka ini tentunya lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu, apalagi jika dibandingkan dengan target secara nasional.

Dari berbagai laporan tahun lalu dan proyeksi tahun ini, pemerintah Aceh sebenarnya masih punya waktu untuk memperbaiki kinerja mereka, walaupun dengan masa yang sebenarnya sudah memasuki santeng atau “injury time”. Jika Sir Alex melakukan re-strategizing saat tertinggal 0-1, maka pemerintah Aceh harus juga melakukan re-strategisasi dalam tata kelola pemerintahannya.

Saya tidak dalam posisi menyarankan untuk mengganti para pejabat, seperti mengganti pemain yang dilakukan dalam sepakbola, tetapi yang jauh lebih penting adalah siapa pun pejabat atau pembantu gubernur dan wakil gubernur tersebut harus paham dan dapat menerjemahkan visi dan misi pemerintah Aceh ini.

Untuk urusan gonta-ganti, seolah menjadi momok mengerikan bagi pejabat setingkat kepala dinas atau badan. Namun saya belum pernah melihat adanya suatu indikator yang jelas dan terukur untuk menilai layak atau tidaknya seorang pejabat menduduki posisi tertentu atau mengapa ia diganti. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penentuan pejabat tersebut ditentukan berdasarkan “bisikan” kelompok tertentu, tanpa adanya rapor berbasis kinerja, kapabilitas, dan pencapaian yang dapat dipertanggungjawabkan.

 Jangan ada intrik
Yang tak kalah penting, pada 2015 ini “Aceh 1” dan “Aceh 2” sudah harus saling bergandeng tangan (lagi) untuk bekerja sama dalam membangun Aceh. Jangan ada lagi intrik, “politik kotor” atau upaya saling jegal antarsesama. Konflik antara dua pucuk pimpinan ini tentunya berimbas bagi jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Silent conflict ini sudah dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan aspek-aspek lain yang mengkhawatirkan.

Waktu yang tersisa hingga 2017 seharusnya dioptimalkan oleh pemimpin Aceh untuk bekerja sekuat tenaga untuk kepentingan rakyat, bukan mengejar kepentingan sempit dan saling jegal untuk “kepentingan” 2017. Dulunya mereka juga para pimpinan yang menuntut Aceh merdeka. Malu rasanya jika dulu berkoar-koar menyuarakan kesejahteraan rakyat, tetapi saat mendapat kesempatan memimpin ternyata tidak terbukti.

Tidak hanya rakyat, tentunya para pemimpin ini ingin merasakan husnul khatimah di akhir pemerintahannya, dan kelak dikenang sebagai pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat Aceh. Dari sisi ekonomi, kita masih berharap pemerintah Aceh sekarang mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi seperti saat MU membalikkan kekalahan menjadi kemenangan.


Fahmi Yunus, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, 
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: fahmiyunus@gmail.com

http://aceh.tribunnews.com/2015/01/05/mau-dibawa-kemana-perekonomian-kita?page=3


(Tulisan ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Senin, 5 Januari 2015)

No comments:

Post a Comment