Friday, September 11, 2015

“Maafkan Saya”

Pagi tadi tepatnya. Sesampai di ruangan saya di kampus saya mendapati sebuah surat, ternyata dari seorang mahasiswi. Sebagai dosen perwalian atau pembimbing akademik ini adalah masa- masa saya perlu tandatangan KHS atau KRS mahasiswa. Itu hal rutin yang saya temui dalam beberapa hari ini. Tapi surat pagi ini jauh berbeda. Dan setelah kurang lebih dua tahun saya menjadi dosen wali, baru hari ini saya mendapati sebuah surat dalam bentuk form resmi lembaga. Surat itu ternyata permohonan untuk non- aktif atau cuti kuliah. Ah, bercanda dia, pikir saya.
Penasaran saya telpon dia untuk tanya apa betul permohonan itu dibuat dengan penuh kesadaran? Kesadaran untuk cuti kuliah sementara. Saya tanya alasannya. Agak sulit baginya menemukan kata yang tepat. Tapi, beberapa kali dia mengucapkan kata “kurang”, yang kemudian saya simpulkan bahwa dia berhenti kuliah sementara karena kekurangan biaya. Tidak biaya untuk kuliah. Kesimpulan ini diperkuat setelah saya bertanya dengan dosen lain yang katanya sempat berbicara dengan mahasiswi ini, bahwa memang dia atau keluarganya lagi kekurangan biaya.
Lama saya tercenung, dan berfikir, setengah tidak percaya. Beberapa saat kemudian saya telpon dia kembali untuk memastikan sebelum saya memberi tandatangan. Kali ini jawabannya lebih jelas, memang keluarganya lagi membutuhkan biaya untuk keperluan lain yang lebih mendesak, dan dia harus merelakan dirinya untuk tidak kuliah sementara waktu. “Saya mau cari- cari kerja dulu Pak”ia menegaskan.
Dada saya bergemuruh. Peristiwa ini mengingatkan saya pada seorang teman lama, belasan tahun lalu, saat kami kuliah S1 dia harus berhenti kuliah karena tidak ada biaya. Kali ini, seorang mahasiswi tidak harus berhenti (entah sampai kapan) karena ia tidak mampu menyediakan SPP satu juta lebih itu. 
Entah kenapa saya malu kepadanya. Saya ingat dalam kelas Ekonomi Makro saya bercerita tentang betapa besarnya dana yang dikelola oleh pemerintah Aceh. Saya bilang untuk tahun 2015 ini saja pemerintah Aceh mengelola dana lebih 12 triliun. Saya berandai- andai di kelas, kalo uang 12 triliun itu dibagi- bagi aja ke orang semua orang Aceh, maka masing- masing orang akan dapat 2 juta lebih. Atau saya juga sering becanda jika uang sebanyak itu dibeliin kopi, maka bisa tengglem kota Banda Aceh oleh kopi. Kita bangsa yang kaya papar saya dengan penuh semangat.
Saya juga bilang kalo tidak kurang dari 42 triliun, ya 42 triliun dana otonomi khusus yang mengucur ke Aceh. Bayangkan uang sebanyak itu. Lalu saya tanya kepada mahasiswa, siapa yang pernah lihat uang sebanyak itu dalam bentuk fisik. Jujur saya sampaikan mereka bahwa saya sendiri belum pernah melihat uang segitu banyaknya. 

Memang di sesi lain kami berbicara tentang angka kemiskinan di Aceh yang sering jadi juara, dan di atas rata- rata nasional. Angka pengangguran tinggi, kesehatan bayi yang mengkhawatirkan, masalah narkoba, dan angka- angka statistik “mengerikan” lainnya.
Tapi hari ini saya mendapati angka- angka statistik dalam bentuk persentase dan rata- rata itu hadir dihadapan saya. Angka statistik itu berwujud dalam bentuk seorang mahasiswi yang tak mampu membayar SPP nya.

Andai saya bisa meminta kepada pemerintah untuk menolong satu orang mahasiswi ini. Caranya cukup sederhana. Beberapa hari ini saya sering melihat iklan advertorial atau pariwara versi pemerintah Aceh yang menceritakan tentang kesuksesan mereka, kehebatan mereka, kegemilangan mereka dalam membangun Aceh. Ya, karena dalam bentuk iklan pastilah harus berbayar. Karena tampil di halaman 1 depan, tentunya biayanya sangat mahal. Andai saja, 1 kali slot iklan di koran itu disumbangkan ke mahasiswi saya, saya yakin masalahnya bisa tuntas, walau untuk sementara.
Saya yakin uang SPP seorang mahasisa di kampus saya hanyalah "peng griek" uang receh buat penguasa dan pejabat yang selama ini katanya selalu memikirkan nasib rakyat siang dan malam. Atau mungkin ada beasiswa yang memang ditujukan kepada mahasiswa- mahasiswa seperti ini. Ya, beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu melanjutkan kuliahnya.
Akhrinya saya sebagai dosen walinya merasa malu dan berdosa karena tidak bisa berbuat apa- apa untuk membantunya. Saya mau minta maaf kepadanya karena saya mungkin lebih disibukkan dengan urusan penelitian, mengajar, dan urusan- urusan lainnya yang membuat masalah seperti ini seolah berlalu begitu saja. Semoga dia bisa memaafkan saya sebagai dosennya.

*Banda Aceh, 11 September 2015