Friday, December 26, 2014

10 Tahun Berlalu

Salah satu alasan saya tidak membawa anak- anak ketika ziarah ke kuburan massal tsunami adalah saya tidak ingin terlihat sedang menangis oleh anak- anak saya. Sebagai seorang laki- laki, dan ayah saya akan merasa tak pantas menangis di depan anak. Positioning saya sebagai ayah adalah seorang pria yang kuat. Pencitraan yang saya bangun tentang seorang ayah adalah laki- laki yang tegar, tabah, sabar dalam menghadapi hidup. Ayah harus menjadi seorang “superman” bagi anak- anaknya.

Tapi hari ini saya “terpaksa” membawa 2 orang buah hati mungil itu ke kuburan massal di Siron, Lambaro. Sejak pagi mereka merengek, setengah menangis minta ikut saya ziarah pada tanggal 26 Desember 2014, atau 10 tahun setelah bencana gempa tsunami yang memisahkan saya dengan ayah, mamak, istri yang sedang hamil, mertua, 2 adik dan keponakan yang lucu, sepupu, sodara, teman yang tak jumlahnya tak bisa saya sebutkan jumlahnya.

Akhirnya saya menyerah, dan mereka menyetujui beberapa syarat.

Sesampai di kuburan massal Siron, terasa atmosfir yang susah saya uraikan. Memang hingga saat ini saya tidak tahu dimana keluarga saya dimakamkan. Bahkan tidak ada satupun saksi mata yang selamat yang mengetahui atau setidaknya pernah melihat saat mereka dikuburkan. Saya hanya menduga dan menggunakan feeling saja bahwa ada anggota keluarga saya dikuburkan di kuburan massal korban tsunami terbesar di Aceh itu.

Baru melangkah beberapa meter, perasaan ini mulai bercampur aduk. Haru, mengundang air mata yang ingin segera tumpah. Saya coba tahan, dan berhasil. Kami keliling melihat kuburan massal. Saat itu di salah satu gundukan, Aya putri saya yang berusia 6 tahun, bertanya sambil mengarahkan jarinya.

“Ayah, kenapa di kuburan ini ada orang bakar lilin dan asap?”

Saya jelaskan itu adalah ritual doa yang dilakukan oleh sodara- sodara kita Tionghoa. Saya bilang ke Aya, mereka punya cara berbeda dengan kita dalam berdoa. Memang dibawah pekuburan massal ini berbaring puluhan ribu manusia dari berbagai suku, ras dan agama.

Selamat. Saya masih bisa mempertahankan air mata agar tak tumpah, ujar saya dalam hati.

Lalu kami duduk, dan saya mulai membaca doa. Salah satunya surah Yasin. Baru mengucapkan bismillah air mata ini sudah mulai tak terbendung. Rafa putra saya yang berusia 3 tahun, sempat memperhatikan mata saya, terlihat wajahnya bingung. Mungkin dia sedang bertanya, mengapa mata ayah merah dan seperti berair. Tapi dia urung bertanya, mungkin dia masih berfikir mata saya kemasukan debu.

Ayat demi ayat saya bacakan, doa pun saya lantunkan untuk keluarga saya dan siapa saja di bawah tanah itu. Namun air mata ini seperti air bah disaat musim hujan. Ia tak mampu dibendung lagi, mengalir begitu saja tanpa mampu saya kendalikan. Kini terlihat wajah heran dari Aya dan Rafa. Lagi- lagi mereka tak berani bertanya langsung kepada saya, mungkin mereka ingin menjaga pencitraan yang sedang saya bangun selama ini.

Setelah berdoa, kami berbincang dan mereka mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang beberapa diantaranya mampu saya jawab, sedangkan sisanya saya hanya terdiam.

Misalnya Aya tanya, “Ayah kenapa orang- orang meninggal harus dikubur?”

“Kenapa ada tsunami?”

“Mengapa kita harus berdoa?”

Atau pertanyaan Rafa, “Ayah, tadi katanya mau pergi ke tempat orang meninggal, tapi mana orang meninggalnya?”

Terakhir keduanya bertanya dengan kompak, “Ayah kenapa di kuburan ini ada orang yang jual mainan?” tanya mereka sambil menunjuk seorang pria yang sedang jual balon warna- warni keliling.

Mata saya makin bengkak dan merah, saat menutup doa- doa. Karena yang terbayang adalah wajah keluarga tercinta yang entah dimana. Di dalam hati saya berbisik, walaupun saya ziarah ke kuburan ini cuma 1 tahun sekali, tapi saya selalu mendoakan mereka. Di dalam shalat saya selalu memohon Allah SWT mengampuni dosa mereka, melapangkan kuburnya, dan memberikan mereka tempat indah yang bernama syurga. Doa itu selalu saya panjatkan tanpa henti, tanpa perlu menunggu tanggal 26 Desember.

Disana saya juga berbisik dengan air mata yang berurai, “Aku selalu rindu dan selalu sayang pada kalian”

Sebelum meninggalkan Siron, saya sempat bertemu abang ipar, atau abang dari istri saya Maisarah. Kami berpelukan erat, sambil melepaskan air mata sebanyak- banyaknya. Sepertinya ini air mata yang tadi sempat tertunda. Kini ia lepas, bebas, tanpa segan keluar dari celah- celah yang ada di mata saya. Kedua- anak saya juga memandang kami, tapi mereka tak bertanya lagi.

Akhirnya kami pulang. Seperti biasanya dua anak yang lahir dari seorang ibu bernama Cut Aida itu minta beli ini dan itu, mereka minta jajan. Sambil sekali- kali melihat saya menyeka sisa- sisa air mata.

Sesampai di rumah mereka bermain lagi. Beberapa saat kemudian istri saya yang tidak ikut pada ziarah tadi karena sedang hamil tua anak ketiga kami memanggil saya ke dalam kamar. Istri saya bilang tadi Rafa sempat cerita, katanya,

“Ma, tadi Adek lihat Ayah menangis”


Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihi wa’fuanhum.... #26 Desember 2014.