Tuesday, July 01, 2014

Memaknai Kentut Jokowi

Sebagai manusia  normal, kita tentu pernah kentut. Kentut bersifat universal karena ia tak memandang dari suku apa, agama apa, bangsa apa, atau warna kulitnya apa. Kentut juga mempunyai karakteristik dari segi suara dan aromanya. Dari segi kesehatan kentut dapat menjadi indikator penting, misalnya sehabis menjalankan operasi, biasanya pasien akan ditanyai dokter apakah ia sudah kentut. Tapi kehadirannya sering dianggap tidak penting, karena ia hadir ke atmosfer melalui jalur yang sering dianggap tabu untuk didiskusikan. Tetap saja kentut itu penting bagi siapa saja, termasuk Jokowi.

Siapa Jokowi? Kenapa kentut Jokowi menjadi penting? Setidaknya bagi saya ini penting bagi orang lain belum tentu.

Sebagai warganegara Indonesia yang sekarang mencalonkan diri menjadi presiden, Jokowi menjadi sosok penting yang dibicarakan oleh siapa saja, apalagi media. Istilahnya, tidak ada hari tanpa Jokowi atau Joko Widodo di media. Diskusi dan kajian tentang kentut Jokowi saya yakin belum menjadi bahan diskursus yang serius dan sering tak dibahas secara khusus. Tapi saya yakin seiring berjalannya waktu, segala aspek tentang Jokowi sudah habis dibahas media dan dibicarakan publik, maka aspek kentut yang menjadi isu menarik dan penting yang akan menjadi bahan bagi media dan pesaingnya.

Suatu saat nanti, saat Jokowi kentut orang akan memaknainya kedalam ranah politik. Contohnya, pada hari pertama Jokowi kentut, suaranya lembut, nyaris tak terdengar dan tak berbau. Lalu media dan pesaingnya mengklaim itu adalah pencitraan. "Masak kentut tidak bau, ini pasti pencitraan" komentar salah seorang pengamat politik di salah satu media elektronik. Sementara kelompok garis keras tak mau ketinggalan, mereka ramai menyerang dengan mengatakan "Itu kentut setan" karena tak bersuara dan tak berbau. Kelompok aliran lain lantas menuduh "pasti ada konspirasi global yang membuat kentut Jokowi tak bersuara. Ini harus dibongkar" papar mereka di media sosial. Hebatnya, ada pula yang menuduh Jokowi bukan penduduk bumi, "Dia alien" ujar mereka dengan tegas. Sementara, kelompok yang agak cerdas berusaha membahas kentut Jokowi secara ilmiah. Mereka akhirnya berkesimpulan, "Jokowi mengkonsumsi suplemen pewangi kentut yang secara signifikan mampu mereduksi aroma kentut sebesar 95 persen, dengan margin error +/- 2,5"

Esok hari, Jokowi kentut lagi. Tapi kali ini bersuara nyaring, dan beraroma tak sedap, seperti kentut-kentut mainstream lainnya. Ini pun tak luput dari perhatian media dan publik. Lagi- lagi ada yang berkesimpulan itu "pencitraan". Jokowi berusaha terkesan merakyat dengan memiliki kentut yang aromanya "merakyat" pula. Jokowi dituduh berusaha keras untuk membuat kentutnya berbau tak sedap, dilengkapi dengan ilustrasi Jokowi sedang menyantap pete dan jengkol, menggunakan software seperti photoshop. Kelompok aliran keras tak mau ketinggalan, mereka lagi-lagi berkoar-koar di media sosial mengatakan ini bukti  bahwa Jokowi adalah makhluk jenis omnivora yang memakan semua jenis makhluk di muka bumi. "Jokowi itu adalah pemangsa semua jenis kuliner, mulai ayam tangkap, rendang, gudeg, sate, hingga papeda, maka kentutnya seperti itu" tulis mereka. Lalu, kelompok yang agak terpelajar menuduh Jokowi sebagai agen asing, karena kentutnya dianggap mewakili kepentingan asing di Indonesia. "Kentut Jokowi memiliki agenda, ideologi politik dan ekonomi asing yang sangat berbahaya. Kentut Jokowi berpaham neo-liberalisme" terang mereka pada salah satu seminar di kampus.

Lalu, di hari ketiga, Jokowi belum kentut dan belum ada tanda- tanda akan kentut. Rupanya, Jokowi cukup resah dan gelisah karena dinamika kentutnya menjadi konsumsi publik, karena baginya itu adalah privasi. Ia mencoba menahan diri, agar tidak ada interpretasi tentang kentutnya lagi yang ujung- ujungnya menjurus pada fitnah. Jokowi sangat tahu bahaya fitnah. Ia coba tahan kentutnya agar tidak keluar, agar para pesaing dan musuhnya tidak lagi melakuan fitnah. Ia mencegah mereka melakukan dosa. Ia ikhlas.

Tapi, yang namanya orang iri, dengki, para pembenci tak mau tinggal diam. Kali ini mereka semakin yakin bahwa Jokowi itu penuh pencitraan dengan tidak kentut di hari itu. Mereka bangga dan bertepuk dada berkata "Lihat, pencitraan apalagi yang dibuat Jokowi. Ia tidak bisa kentut. Pemimpin macam apa yang tidak bisa kentut?"

Akhirnya, Jokowi pun meresponnya dengan tenang  dan senyum seperti biasa, sambil secara perlahan-lahan melepas kepergian kentut dengan suara sehalus mungkin. Ia tak tahan, Ia harus kentut hari itu juga. Dan ia tak ingin menzalimi angin yang harus keluar dari tubuhnya itu.