Friday, March 20, 2015

Happy Birthday to You in Heaven #mysarah

If she were still here, today is her birthday. But I always love & pray for her everyday #mysarah 

Dear God, do they celebrate birthday in heaven? Although they don't please send my birthday greeting and tell her that i miss her so much #mysarah

I wish i could see her in my dream tonight #mysarah


Banda Aceh, March 20, 2015

Wednesday, March 18, 2015

"Ekonomi Nasional vs. Ekonomi Aceh" - AcehNomics, Februari 2015

Add caption

Menunggu Bank “London” Syariah di Aceh?

5 Februari 2015

Ingatan saya melayang pada suatu diskusi terbatas yang diadakan oleh instansi pemerintah dan dihadiri oleh belasan tokoh mewakili perbankan, aktivis LSM, akademisi, pengusaha dan tokoh masyarakat. Ada satu pertanyaan dari peserta diskusi yang terkesan sederhana namun penting dan kemudian dijawab oleh peserta lain secara santai namun mengena. 


Pertanyaan saat itu adalah, “Mengapa kita harus menjalankan sistem ekonomi syariah atau Islam?”.

Jawabannya “Ya, karena kita kan orang Islam, tentunya harus patuh pada apa yang diatur oleh Islam”.

Menurut saya, jawaban singkat namun padat itu sudah cukup menjadi argumen kuat mengapa sistem ekonomi Islam menjadi sangat penting dan perlu diaplikasikan oleh kita umat Islam.

Sementara nun jauh disana, di bumi belahan Eropa, Perdana Menteri Inggris David Cameron dihadapan seribuan delegasi pada forum ekonomi Islam dunia, World Islamic Economic Forum (WIEF)  ke 9 di London yang saya kutip dari www.economist.com berkata, “Saya ingin London dapat berdiri berdampingan dengan Dubai sebagai salah satu ibu kota keuangan Islam terbesar berbagai negara di dunia”. Pernyataan itu disampaikan pada bulan 2 tahun lalu, tepatnya tanggal 29 Oktober 2013, di London, ibukota Inggris. Ini adalah WIEF pertama kali yang diselenggarakan di luar negara- negara Islam.

Menurut saya Cameron sangat sadar pentingnya sistem ekonomi dan keuangan Islam serta peranannya dalam perekonomian dunia, lantas ia pun memiliki mimpi agar negaranya mampu menyaingi negara- negara Islam dalam tatanan keuangan Islam dunia. Dan kita tahu Mister Cameron bukanlah seorang muslim.

Dua kisah di atas mungkin bisa menjawab urgensi penerapan sistem ekonomi syariah atau Islam, beserta turunannya berupa keuangan syariah, hingga perbankan syariah. Yang pertama adalah karena masalah substansial yaitu kita sebagai umat Islam yang wajib menjalankan ajarannya secara kaffah, dan yang kedua adalah masalah “pasar” atau konsumen keuangan syariah. Disini saya sekadar ingin berbagi tentang yang kedua, yaitu mengenai aspek pasar dalam praktik keuangan atau perbankan syariah.

Pertumbuhan Signifikan
Jika boleh mengutip World Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014, atau laporan Persaingan Bank Syariah Dunia,  yang memaparkan bahwa Indonesia bersama lima negara Islam lainnya mengalami pertumbuhan pasar perbankan syariah secara signifikan. Kita bersama bersama Qatar, Saudi Arabia, Malaysia, UEA dan Turki yang disingkat dengan QISMUT merupakan negara yang dianggap cukup penting karena tergolong ke dalam negara yang memiliki pertumbuhan pasar yang tinggi, atau dikenal dengan Rapid-Growth Market (RGM). Untuk masuk ke dalam RGM negara tersebut harus memenuhi kriteria diantaranya terbukti memiliki pertumbuhan yang tinggi serta potensinya, skala ekonomi dan jumlah populasi, dan kepentingan strategis untuk bisnis. QISMUT menjadi kelompok negara yang sangat penting bagi internasionalisasi industri perbankan Islam karena aset di enam negara ini berjumlah 78 persen dari seluruh perbankan syariah di dunia. Sementara total aset perbankan syariah di dunia mencapai US$1,7 Triliun, artinya QISMUT mendominasi total aset perbankan syariah dunia saat ini. Dan yang paling penting adalah bergairahnya perekonomian negara- negara ini serta pertumbuhan nasabah atau pasar untuk layanan keuangan yang tinggi menjadikan Indonesia sebagai prospek yang menarik bagi bank lain untuk memperbesar keuntungannya.

Fenomena bergairahnya keuangan dan bank syariah makin dilirik tidak hanya oleh negara- negara muslim namun juga negara- negara non-muslim di benua Eropa dan Amerika. Beberapa kajian juga sempat memaparkan bagaimana sistem keuangan syariah ternyata lebih tahan dalam menghadapi krisis ekonomi seperti yang terjadi di Eropa.

Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia sadar akan hal itu. Tapi mungkin agak berbeda dengan provinsi Aceh yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam plus diperkuat dengan adanya regulasi penerapan syariat Islam. Pemerintah Aceh belum sadar akan keunggulan sistem keuangan atau perbankan Islam atau mungkin pura- pura tidak sadar. Saya berkesimpulan seperti itu setelah melihat  dinamika tarik-ulur rencana pembentukan PT Bank Aceh Syariah (BAS).

Sejak tahun lalu saat draft rancangan qanun bank syariah sudah dibahas di gedung parlemen, lalu muncul wacana menarik kembali draft tersebut. Publik pun bereaksi. Ulama hingga akademisi unjuk suara melalui media massa menyayangkan keputusan tersebut dan hasilnya gubernur membatalkan niat tersebut. Alhasil di penghujung jabatan DPRA periode lalu draft qanun tersebut disahkan.


“Spin Off” Lebih Cocok
Pro-kontra tentang bank Aceh syariah berisikan tentang mekanisme yang harus ditentukan, pilih konversi atau spin off (pemisahan). Beberapa pakar perbankan berkomentar bahwa spin off lebih cocok karena dianggap relatif lebih aman. Lalu, diawal tahun 2015 disaat pemerintah sedang membahas RAPBA, muncul lagi tarik-ulur pendirian bank ini muncul lagi, kali ini berkaitan dengan besarnya penyertaan modal yang harus disetor pemerintah.
Wajar muncul pertanyaan mengapa rencana pembentukan BAS seperti “bermain layang-layang”, ditarik, lalu diulur tergantung angin. Atau ada masalah substansial apa yang membuat pemerintah Aceh ragu, yang kemudian memicu polemik di ruang publik. Dari beberapa informasi yang saya peroleh salah satu hal faktor krusial adalah karena ketidaksiapan internal atau pihak Bank Aceh sendiri.

Saat spin off menjadi pilihan maka ada sejumlah regulasi ketat yang harus dilalui, dan berbagai pra-syarat yang harus dipenuhi. Saya menduga pihak bank Aceh konvensional cenderung tidak siap dan takut bersaing “adik kandungnya” yang sedang ditunggu- tunggu oleh pasar. Ketakutan inilah yang kemudian diolah redaksinya agar terdengar lebih lembut ke telinga pembuat kebijakan.

Sebenarnya kehadiran BAS bukan hanya mampu mengusung sistem keuangan syariah tapi juga mampu mengoptimalkan pasar yang ada. Bukan hal mustahil dengan besarnya besarnya potensi pasar disini membuat bank- bank syariah lain berlomba- lomba beroperasi di Aceh, bahkan bank luar negeri sekalipun. Saya berandai- andai jika pemerintah Aceh tak serius mendirikan BAS, mungkin suatu saat nanti akan hadir Bank “London” Syariah di Aceh, mengingat betapa menggiurkannya pasar syariah saat ini seperti yang diutarakan oleh Perdana Menteri Gordon. Tanpa ada suatu brand lokal, takutnya nanti kita akan berkata (lagi) “Buya krueng teu dong- dong, buya tamong meuraseuki”.



*Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

(Tulisan ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Kamis, 5 Februari 2015)

Mau Dibawa Kemana Perekonomian Kita? (‘Outlook’ Ekonomi Aceh 2015)

Senin, 5 Januari 2015

SAYA termasuk orang yang sependapat bahwa final piala Champion Eropa yang paling dramatis adalah saat Manchester United (MU) melawan Bayern Munchen di stadion Camp Nou, Barcelona pada 26 Mei 1999 silam. MU secara menakjubkan mampu membalikkan keadaan dari tertinggal 0-1 dan menjadi jawara liga paling bergengsi di Eropa itu di saat injury time. Saat tertinggal 0-1, manajer MU saat itu Alex Ferguson mengubah strategi dan taktik. Ia menukar Blomqvist dengan Teddy Sheringham dan mengganti Andy Cole dengan Ole Gunnar Solksjaer. Secara normal waktu telah berakhir, namun masih ada bonus injury time 3 menit. Ternyata 3 menit mampu dimanfaatkan MU dengan sangat efektif.


Keajaiban terjadi saat pemain pengganti Sheringham mencetak gol penyeimbang menjadi 1-1. Keajaiban untuk MU belum berakhir tatkala Solkjaer yang juga pemain pengganti menjadi penentu kemenangan 2-1, membawa MU resmi menjadi juara. Tidak hanya saya yang sangat terkesan dengan pertandingan ini, bahkan bagi wasit plontos yang terkenal tegas, Pierluigi Collina, mencatat pertandingan ini sebagai pertandingan yang paling dikenang selama ia menjadi hakim di lapangan hijau. Terakhir, sang penjaga gawang Peter Schmeichel juga memutuskan gantung sepatu. Ini adalah final terakhirnya.

Tak jauh beda
Itu cerita tentang sepakbola, untuk konteks Aceh dan pembangunannya saya rasa tak jauh beda. Tahun 2015 ini adalah tahun ketiga bagi pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Walaupun masih pertengahan periode, tapi bagi saya catatan dan capaian pemerintah Aceh dari segi ekonomi pada 2014 lalu masih jauh dari harapan. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan terburuk sepanjang mereka memegang tampuk pemerintahan.
Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Memang kinerja perekonomian bisa diukur oleh beberapa indikator ekonomi yang menjadi cerminan kegiatan ekonomi di masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dipakai dan dianggap sebegai indikator terpenting untuk menilai pencapaian ekonomi suatu negara atau daerah.
Saat mengukur perekonomian Aceh, tentu kita tidak bisa lepas dari kondisi perekonomian Indonesia, dan internasional. Untuk konteks Indonesia, beberapa lembaga memprediksi perekonomian Indonesia pada 2015 ini akan lebih baik dari sebelumnya. Lembaga seperti ADB dan The World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 5,6%. Dari sisi investasi walaupun masih lemah, namun dari sisi ekspor cenderung lebih baik, mengingat perekonomian global seperti Amerika Serikat yang menunjukkan trend positif. Walaupun nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar sempat tembus ke angka psikologi Rp 13.000, namun beberapa pakar sepakat bahwa perekonomian Indonesia secara makro diperkirakan akan lebih baik.

Berbanding terbalik dengan proyeksi ekonomi nasional dan global, saya justru agak pesimis dengan pertumbuhan ekonomi Aceh yang secara “konsisten” mengalami penurunan. Jika merujuk pada “Catatan Akhir 2014 dan Outlook Perekonomian Aceh 2015” yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), perekonomian Aceh tahun lalu mengalami penurunan. BI memperkirakan sampai akhir 2014 pertumbuhan ekonomi kita berada pada angka 3,24% (Serambi, 29/12/2014).

Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga dan pemerintah memiliki share 64% bagi ekonomi Aceh. Konsumsi rumah tangga mengalami stagnansi, sementara untuk sisi konsumsi pemerintah mengalami penurunan yang disebabkan oleh penyerapan anggaran pemerintah Aceh yang tidak mampu mencapai target. Lalu angka ekspor yang menurun juga berkontribusi terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi. Namun yang lebih parah adalah pertumbuhan investasi yang mengalami penurunan cukup signifikan dari 16,7 menjadi 4,8%. Hal ini dipicu oleh menurunnya pertumbuhan investasi baik pemodal asing maupun dalam negeri.

Dari sisi penawaran, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yaitu sektor pertanian juga mengalami perlambatan, salah satunya karena adanya bencana alam seperti kekeringan. Intinya, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2015 ini akan tumbuh sebesar 2,9 sampai 3,3%. Angka ini tentunya lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu, apalagi jika dibandingkan dengan target secara nasional.

Dari berbagai laporan tahun lalu dan proyeksi tahun ini, pemerintah Aceh sebenarnya masih punya waktu untuk memperbaiki kinerja mereka, walaupun dengan masa yang sebenarnya sudah memasuki santeng atau “injury time”. Jika Sir Alex melakukan re-strategizing saat tertinggal 0-1, maka pemerintah Aceh harus juga melakukan re-strategisasi dalam tata kelola pemerintahannya.

Saya tidak dalam posisi menyarankan untuk mengganti para pejabat, seperti mengganti pemain yang dilakukan dalam sepakbola, tetapi yang jauh lebih penting adalah siapa pun pejabat atau pembantu gubernur dan wakil gubernur tersebut harus paham dan dapat menerjemahkan visi dan misi pemerintah Aceh ini.

Untuk urusan gonta-ganti, seolah menjadi momok mengerikan bagi pejabat setingkat kepala dinas atau badan. Namun saya belum pernah melihat adanya suatu indikator yang jelas dan terukur untuk menilai layak atau tidaknya seorang pejabat menduduki posisi tertentu atau mengapa ia diganti. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penentuan pejabat tersebut ditentukan berdasarkan “bisikan” kelompok tertentu, tanpa adanya rapor berbasis kinerja, kapabilitas, dan pencapaian yang dapat dipertanggungjawabkan.

 Jangan ada intrik
Yang tak kalah penting, pada 2015 ini “Aceh 1” dan “Aceh 2” sudah harus saling bergandeng tangan (lagi) untuk bekerja sama dalam membangun Aceh. Jangan ada lagi intrik, “politik kotor” atau upaya saling jegal antarsesama. Konflik antara dua pucuk pimpinan ini tentunya berimbas bagi jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Silent conflict ini sudah dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan aspek-aspek lain yang mengkhawatirkan.

Waktu yang tersisa hingga 2017 seharusnya dioptimalkan oleh pemimpin Aceh untuk bekerja sekuat tenaga untuk kepentingan rakyat, bukan mengejar kepentingan sempit dan saling jegal untuk “kepentingan” 2017. Dulunya mereka juga para pimpinan yang menuntut Aceh merdeka. Malu rasanya jika dulu berkoar-koar menyuarakan kesejahteraan rakyat, tetapi saat mendapat kesempatan memimpin ternyata tidak terbukti.

Tidak hanya rakyat, tentunya para pemimpin ini ingin merasakan husnul khatimah di akhir pemerintahannya, dan kelak dikenang sebagai pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat Aceh. Dari sisi ekonomi, kita masih berharap pemerintah Aceh sekarang mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi seperti saat MU membalikkan kekalahan menjadi kemenangan.


Fahmi Yunus, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, 
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: fahmiyunus@gmail.com

http://aceh.tribunnews.com/2015/01/05/mau-dibawa-kemana-perekonomian-kita?page=3


(Tulisan ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Senin, 5 Januari 2015)