Friday, November 29, 2013

Shenny

BAGIAN 4
Shenny

Panggilannya Shenny. Tapi pengucapannya seperti mengucapkan kata "Syeitan", pake huruf "Syen". Huruf "S" diucapkan dengan tebal. Bagiku penggunaan huruf untuk namanya mubazir, huruf "N" nya aja dua kali. Gak ngerti kenapa ayahnya menamakan itu. Oya, tak lupa nama ayahnya menyertai di belakang, Sunarto. Lengkapnya Shenny Sunarto. Siapa tau nama ibunya Sunarti. Siapa tau, aku gak tau, karena gak pernah tanya. Malu lah, anak SMP nanya-nanya nama ibu orang.

Tapi walopun namanya terkesan mubazir, sesungguhnya wajahnya tidak. Justru proporsional, simetris, akurat, tata letak yang elegan. Aku permudah dengan satu kata: cantik, manis, teduh. Lho kok tiga kata? Gak apa, ternyata satu kata gak cukup mewakili. Aku dan kawan-kawan sering bilang dia itu mirip Gladys Suwandhi, penyanyi dan bintang pelem yang terkenal di masa jayanya. (Di bawah ini fotonya. Mirip kan? Gak mirip ya?)



Shenny adalah kembang kelas. Kelasku. Dia idola. Idola anak laki pasti. Aku dan teman sebangkuku punya nama nama samaran atau kode khusus untuknya, "Dodol". Simpel aja, karena dia idola, jadi diolah aja katanya menjadi "Idol..Dol", maka jadilah "Dodol" . Betol memang dia idola, karena disukai 99% siswa cowok di kelasku, 80% di kelas lain. Bicaranya yang lembut, santun, dan tenang memperkuat "dodol" nya itu.

Contoh percakapannya kayak gini:
"Eh, liat tuh si Dodol mau ke kantin" kata temanku.
"Iya, jangan-jangan si Dodol mau beli dodol" jawabku.

Kami sebut dodol untuk menyamarkan percakapan, supaya orang-orang gak tau kalo kami omongin Shenny.

Shenny juga wangi, sewangi bayi. Karena dia pake minyak-minyakan untuk bayi, yang entah apa namanya. Terkadang tercium aroma segar minyak kayu putih, jika aku berdekatan dengannya, sejauh 1 meter. Dia anggun. Aku yakin, saat ia senyum tak ada lagi sisa cabe atau sayuran yang nempel di giginya. Semuanya menyingkir secara otomatis.

Melihat Shenny setiap diantar sekolah oleh ayahnya laksana melihat bidadari yang turun dari minibus. Karena memang dia diantar pake mobil berjenis minibus.

Tidak hanya cantik, Shenny juga cerdas, tulisannya cantik dan rapi. Aku sering pinjam catatannya untuk sekadar mengagumi kenapa ada tulisan sebagus itu, rapih seperti pake komputer, dengan jenis font Arial. Jangan-jangan jemarinya sudah terprogram dan mengandung listrik, atau unsur komputer lainnya.

Terus terang,terang terus aku suka Shenny. Suka aja. Aku kagum padanya, kenapa ada cewek semanis itu di kelas ini. Aku yakin ini perwujudan keadilan Tuhan yang menempatkan Shenny di kelas kami. Tidak hanya aku, 99% siswa laki ato cowok di kelasku juga menyukainya. 1% lagi gak jelas. Disebabkan terlalu banyak lelaki yang suka padanya, tak ada keberanianku untuk nembak, atau sekadar bilang "Kamu cantik". Karena saat aku SMP dulu memang belum ada kekuatan untuk nembak cewek. Aku dan beberapa cowok lain cuma menjadi para secret admirer yang mengagumi dan membicarakannya dengan penuh antusias dan imajinasi.

Bisa jadi kelas SMP adalah masa transisi, ya transisi dari sekolah di dasar ke sekolah menengah, atau agak tinggi dikit. Dari tak ada fisika, jadi mulai belajar fisika. Dari pake celana merah, jadi celana biru. Bagi cowok yang paling penting yaitu ini adalah transisi dan masa penyesuaian pasca disunat.

Uniknya kesukaan para cowok menjelang akil balig ini bersifat kolektif. Teman sebangkuku, namanya Jeko juga suka, teman di depannya juga suka, teman di depannya lagi suka juga, teman disampingya apalagi. Tapi kami semua gak ada yang berani ungkapin perasaan, apalagi nembak. Ngobrol dengannya biasanya kalo lagi perlu pinjam Stip Ex.

"Shen, pinjam Tip Ex nya boleh" pintaku.
"Boleh, ambil aja" jawab Shenny sambil menunjuk sesuatu di atas mejanya"
Aku pun speechless. Rasanya berat sekali lidah ini untuk berbicara panjanga lebar, atau tanya-tanya yang lain. Aku berharap Shenny mengajakku berbicara lagi, tapi dia kembali dengan catatannya. Mungkin aja dia sedang mulis "Catatan Si Shenny". Langsung kuambil Stip Ex Shenny, kutuliskan "Guns N Roses" di mejaku pake Stip Ex nya yang berwarna putih itu. Sehabis menulis, kukembalikan lagi itu barang, suatu saat akan kupinjam lagi ujarku dalam hati.

Shenny bukan sombong, cuma pelit bicara aja kayaknya. Tapi dia baik, mungkin agak pemalu.  Perasaan paling top markotop saat itu adalah saat Shenny senyum. Oh, rasanya pelajaran Matematika jadi seasik main bola, belajar teori-teori Fisika serasa minum air es kelapa di siang bolong dengan suhu 40 derajat celcius.

7


Hipotesisku bahwa mayoritas cowok suka Shenny terbukti saat hari raya, atau lebaran. Biasanya saat lebaran kita saling silaturrahmi ke rumah guru dan rumah teman. Rumah Shenny cukup jauh untuk kami-kami yang cuma bisa naik kereta (sepeda motor), kereta pinjaman punya orang tua. Seorang kawan, namanya Mahmud, naek Vespa. Punya ayahnya juga. Dimanakah rumahnya? Ya, rumahnya jauh di dekat bandara Blang Bintang sana. Kira-kira satu jam naek kereta, kalo bocor ban bisa dua, tiga jam karena harus dorong, dan jalannya belum semulus sekarang.

Karena kesukaan terhadap Shenny bersifat kolektif, maka saat lebaran kami juga pergi ke rumahnya bersama-sama, bisa 4 atau 5 kereta, dikalikan dua penumpang, totalnya 10 siswa cowok yang sedang mencari cinta pergi ke satu sasaran. Aku lebih sering dibonceng kawan, lebih asik dibonceng juga.

Sambutan keluarganya hangat dan ibunya ramah. Adiknya juga asik. Tapi sasaran kami cuma satu, bisa salam sama Shenny. Kalo bukan saat lebaran kapan bisa salaman dengan dia. Salaman adalah satu-satunya cara untuk bisa menyentuh lembutnya tangan Shenny. Momen itu menjadi pembuktian bahwa tangannya tak ada tato tengkorak, seperti yang digosipkan orang-orang yang iri dengki, dan suka menghasut. Kami membuktikan tato tengkorak itu fitnah. Orang suka fitnah bisa masuk neraka kata guru agama.

Belum 10 menit di rumah Shenny, tiba-tiba datang rombongan sirkus lain.Ternyata kawan-kawan lain dari kloter yang berbeda, grup berbeda juga berlebaran ke rumah Shenny. Jumlah mereka 5 orang, ada anak dari kelas lain pula. Tuh kan hipotesisku terbukti. Ngapain coba jauh-jauh ke rumah Shenny.

Akhirnya, 15 orang berdesakan di rumah Shenny yang sederhana. Walopun bersaing, kami tidak pernah bermusuhan, malah ketawa-ketiwi. Ulok sana, ulok sini. (Ulok artinya cerita-cerita lucu, bohong, dan cerita-cerita gak penting lainnya). Cuma 1 orang yang terlihat jaim dan terkesan berwibawa saat itu, dia duduk di sudut kanan dekat jendela. Orangnya ganteng, namanya Romy. Disaat kami terbahak- bahak mendengar cerita si Raul (singkatan untuk Raja Ulok), padahal namanya Paijul, si Romy hanya senyum-senyum sambil memeluk erat helm nya. Aku rasa dia sedang sesak beol. Ngapain pulak helm dibawa-bawa ke dalam rumah, tanyaku dalam hati. Jangan-jangan ada bom di balik helmnya itu. Ah, gak mungkin, Romy terlalu lugu untuk buat bom. Liat ayam disembelih aja dia ikut nangis. Tapi, benda di dalam helmnya itu masih misteri. Ya, misteri paling misteri di hari fitri.  

Setelah hampir satu jam asik ngobrol dan ketawa kami pun pamit pulang. Satu persatu, kami salam lagi dengan Shenny. Aseeeek salaman lagi.

Tiba-tiba...terlihat satu..dua, tiga jeruk berwarna oranye jatuh dan bergelinding di lantai. Sumbernya dari helm Romy. Akhirnya misteri di balik helm Romy terbongkar, ternyata dia bawa jeruk yang dibungkus plastik keresek, dan disembunyikan di balik helm. Nasib apes, plastiknya jebol, dan jeruk-jeruk lepas dengan bebas, bergelinding senang kesana kemari.

"Apa tu jatuh" tanya Shenny.
"Eh..eh..anu...itu..anu... jeruk" jawab Romy malu-malu.

Ya, kita juga semua tahu itu jeruk, bukan duren.

Ternyata sebelum berangkat ke rumah Shenny, si Romy sempatin beli jeruk manis itu 2 kilo. Maksudnya mungkin mau kasih hadiah atau surprise ke Shenny. Tapi niatnya urung, melihat kami yang rame-rame ke rumah Shenny. Mungkin dia mau kasih pas kawan-kawan lain udah pulang, supaya gak terlihat.  Wajah Romy yang putih itu memerah karena malu. Sementara wajah kami juga memerah karena tertawa.  

Akhirnya jeruk itu tetap diberi untuk Shenny, karena memang Romy membelikannya untuk Shenny, walau dengan keadaan plastik kresek jebol.



**Mari Bung....Mari Bersambung***





Tuesday, November 12, 2013

Kee/Qe

...Sambungin
BAGIAN 3

Kee/Qe


4
"Omen, mantap kali Kee"
"Udah makan Kee?"
"Jangan sok lah Kee!"
"Kee kemana aja?"
"Enak kali Kee"

Dan lain-lain, dan seterusnya, dan sebagainya. Kee. Dulu saya suka menulisnya dengan "Qe", cara bacanya persis seperti baca huruf "E" pada Tempe, Toge, atau Sate. Bukan "E" pada Jengkol, Belok, atau Bebek. Kee itu sama dengan Loe/Lu buat anak Jakarta, Kau di Medan, atau Kamu dalam bahasa Indonesia baku.

Anak Aceh,wa bil khusus Banda Aceh memang selalu punya gaya sendiri. Terkadang Kee juga diganti dengan Ko, dari kata Kau. Misal, "Enak kali Ko". Tapi penggunaan kata Ko cenderung agak kasar, dan gak cocok digunakan untuk orang yang lebih tua. Seolah ada nada intimidasi disana. Ada relasi dominasi antar satu ke yang lain. Ada jurang pemisah antara bos dan anak buah.Tapi, kadang Ko bisa juga untuk menunjukkan bahwa hubungan perkawanan itu sudah sudah sangat dekat. Hanya dengan kawan-kawan tertentu Ko bisa dipake. Jangan sampe gunakan untuk memanggil guru. "Mana aja Ko Pak?" Dijamin, abis manggil gitu kita digampar atau dipecat, karena tidak sopan, walaupun pengucapannya dengan nada paling lembut sekalipun.

Kee hadir secara egaliter. Dia mengakui persamaan derajat, tidak ada perbedaan agama,atau ideologi dalam kata Kee. Kee itu asik.

Tapi jangan pake Kee di Jakarta, walaupun huruf "A" disana sering dibaca "E". Misalnya Jakarta, Gile, Ye. Seperti juga disarankan untuk tidak memanggil kawan-kawan di Aceh dengan sebutan "Pa kabar Lu?". Siap-siap aja dipanggil Sok Jakarta, atau Sok Paten. Eiya, teringat waktu kuliah ada teman baru beberapa hari di Jakarta, trus pulang-pulangnya udah pake logat.

"Cui, gile lu, mane aje. Gue nyari-nyari lue" sapa seorang kawan itu seolah-olah telah tak bersua 5 tahun lamanya.

Tiba-tiba, seorang kawan yang nyerocos, dalam bahasa Aceh,

"Toh eek bak bineeh krueng, sok pake Lue, Gue" (Beol aja masih di sungai, sok pake Lue, Gue)

Kami pun tertawa, tak ada yang marah. Tak boleh marah karena kita kawan, kalo ada yang marah-marah, silakan berbaikan lagi. Gak enak marah-marah, abis energi, abis waktu. 

Setauku belum ada satu buku bahasa atau buku sejarah yang menulis awal penggunaan kata Kee. Di kamus apalagi. Kapan penggunaannya? Siapa penemunya? Kalo penemunya masih ada dimana alamatnya? Minimal apa akun twitternya dan Facebooknya? Kalo dia sudah tak ada, dimana kuburnya? Jadi teringat lagu lama.

Udah dulu ah tentang Kee.

5
Kita cerita yang lain aja. Apa ya?

Aha, aku lagi lapar ni, cerita tentang jajanan, kuliner di SMP 1 dulu yook...! Ayookkk..

Ada bakso, lontong sayur, lontong kacang, sirup kuning ABG di gelas kecil pake es batu, kerupuk, bakwan, tahu, kue lapis, kacang, peyek, dan lain-lain, bakpau, risol, es lilin (di plastik kerempeng kayak lilin bentuknya), es agogo, dan lain-lain. Kue-kue itu harganya 100 perak. Lontong pecal gak ingat lagi berapa. Aku suka kali lontong pecal. Bakso juga suka. Nasi gurih juga asik. Semua kusuka. 

Lontong. Yang jual (panggil saja) Kak Nong. Pasti ada nama panjangnya, gak mungkin "Nong" tok. Lucu aja, pas aqiqah orang tuanya kasi nama cuma segitu. Sampe sekarang aku gak tau siapa nama asli atau gelarnya. karena itu gak penting, kita panggil dia itu aja, udah cukup. Ada lontong sayur. Variannya, lontong yaitu beras yang dibungkus daun pisang bulat segede-gede lengan anak SMP. Kalo yang segede lengan Mike Tyson itu bukan lontong namanya, tapi nasi padang. Lontong itu dipotong-potong, kalo gak dipotong susah makannya. Sayurnya sayur lodeh. Ada toco, kacang tumbuk, kerupuk, plus telor rebus. Selain lontong sayur, yang paling aku suka ya itu tadi, lontong bumbu kacang. Seperti bumbu sate Jawa. Tapi kacangnya lebih berasa. Gurih, sedikit manis.


Sewaktu kelas II, aku duduk pas di samping jendela, bangku paling belakang.  Jarakku dengan Kak Nong yang lagi jualan hanya 7 meter. Kami hanya dipisahkan oleh jendela kaca 120x60 cm. Tapi kami bisa saling menatap. Tatapanku jelas punya makna. Lapar. Apalagi saat jam-jam menjelang keluar main/istirahat. Bukan sombong, aku pernah pesan langsung dari jendela. Penasaran delivery itu seperti apa. Ternyata sekarang konsep delivery itu mulai ditiru oleh makanan fast food, bedanya mereka pake telpon. Aku tidak. Dulu waktu SMP kami belum boleh bawa telepon ke sekolah. Karena gak muat di tas, dan gak tau mau colok dimana kabelnya. Sekarang enak, udah ada HP, smartphone. Bisa bawa kemana aja, bisa pesan apa aja asal ada uang.

Suatu hari, ada dialog antar konsumen yang dianya seorang siswa cewek atau siswi dengan Kak Nong.

"Kak Nong, lontong satu, gak pedas ya" pesan siswi.

"Nih" , Kak Nong menyodorkan sepiring lontong sayur. Gak sampe 5 menit.

Siswi makan, mengunyah, tiba-tiba dia berhenti

"Kak, kok ada rambut di lontongnya ni:?" siswi protes merasa haknya sebagai konsumen untuk mendapat makanan steril diabaikan.

Kak Nong menjawab, sambil melirik selama 3 detik "Kee makan aja teros. Jangan banyak kali cing cong Kee"

Siswi: "Glek"

Begitulah, Kak Nong. Baginya penjual adalah raja, bukan pembeli. Konsep marketing tidak berlaku baginya.
Pernah suatu ketika, ada yang protes,

"Kak Nong, kok hari ini lontongnya pedas kali kok?"

"Kee, kalo gak suka gak usah beli" jawabnya ringkas, padat,tegas. 

Tak ada wacana dialogis disana pun tidak demokratis. Tapi, apa daya lontong Kak Nong is the best. Top meuketop. Betul katanya, gak suka, ya gak usah beli. Simpel kan.

Ah Kak Nong, dimana kau sekarang?

Sekonyong-konyong saya ingat bakso. Yang jualnya bukan Kak Nong, karena posisinya di belakang sekolah, dekat WC dan tempat wudhuk. Gak tau kenapa posisi WC sering berdekatan dengan tempat wudhu. Pokoknya, sejak jaman aku SMP sampe sekarang, WC dan tempat duduk masih tak terpisahkan. Dan entah kenapa pula, penjual bakso ini buka lapak di dekat WC. Ah, sudahlah, pasti itu kebijakan kepala sekolah atau pengurus sekolah.

Yang jual bakso Bang Adi. Ini aneh, karena nama mainstream penjual bakso di Banda Aceh dulu seputaran pada nama Lek Min. Lek itu dari Pak Lek, bahasa Jawa, karena mayoritas penjual bakso dari suku Jawa. Bang Adi kalo gak salah orang Jawa juga. Itu kalo gak salah ya, kalo salah, ya maaf. Dekat rumahku agak ekstrim, dari Batak, panggilannya Bang Ucok. Gak mungkinlah panggilnya Lek Ucok. Gak enak aja.

Yang harus diketahui bakso ini rasa enaknya sudah lulus dengan predikat summa cum laude. Atau enak di atas enak, Post-delicious taste. Jadi, susah dibuat scoring, karena enaknya kelewatan. Kalo standar penilaian kuliner dari 1 sampe 10, maka bisa kubilang bakso Bang Adi ini punya nilai 11. Harganya, bolehlah, masih terjangkau. Nah yang membuat skornya +1 itu adalah layanan purna jualnya. Mungkin abang yang jual ini agak keberatan. Kelebihannya adalah, kita sering minta bakso lebih.

"Bang, minta tambah baksonya dikit lah bang" pintaku saat memandangi mangkok yang tinggal kuah.

Bang Adi baik hati kasi tambah 2 bakso. Aku tersenyum.

Selang 1 menit kemudian teman-temanku mengikuti jejak langkahku

"Bang, tambah bakso juga lah bang, bagi lah bang, dikit aja bang"

Bang Adi kecut.

Yang parah, kalo lagi rame-rame yang jajan, biasanya pas jam istirahat. Bang Adi sibuk menyiapkan pesanan, fokusnya pada takaran mie, kuah di mangkok, para siswa mengrubungi Bang Adi minta duluan.

"Bang aku duluan Bang"

"Jeh, saya duluan Bang"

Teriak siswa pesan bakso. Bang Adi jadi selebritis penting saat itu. Dia dikerubungi aku dan kawan-kawan, rebutan siapa duluan.

Yang tak disadari Bang Adi, siswa yang agak lebih panjang memanfaatkan kesibukan Bang Adi, dengan mengambil bakso yang ditaro di atas gerobak dorongya. Bakso itu di baskom. Untuk siswa SMP perlu jinjit agar dapat meraihnya tanpa sepengetahuan Bang Adi pasti. Praktik itu kami namakan "sepay", alias mengambil bakso tanpa sepengetahuan penjual, atau bahasa resminya nyolong bakso.

Ah, Bang Adi maafkan aku bang, maafkan kami yang sudah sepay bakso mu. Aku sempat curiga, gak mungkin engkau gak tau perilaku itu Bang. Tapi seolah kau membiarkannya, kalopun ada yang ketahuan engkau gak pernah lapor ke polisi atau ke KPK, karena waktu itu belum ada KPK.

Mengutip lagu Slank di album pertamanya, "Maafkanlaaahhh aaakuuuu....."


*Bisajadibersambunglagi*

Tuesday, November 05, 2013

SMP ITU SATU...!

Oleh-oleh Fahmi Yunus

BAGIAN 1

1

SMP 1 pendeknya, nama panjangnya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Banda Aceh. Mudah dicari, karena letaknya bersebelahan dengan SMA 1 di kanan, dan SD 1 di kiri. Persis seperti cerdas cermat, bisa jadi SMP 1 adalah juru bicaranya, atau kalo di film, kayak bosnya yang selalu berada di tengah, diapit oleh anak buah (ajudan) kiri dan kanan.


















Agak susah dapetin dokumentasi foto SMP 1 sebelum tsunami, 24 Desember 2004. Foto ini didapat dari Facebook. Makasih Facebook, makasih Mark Zuckenberg yang sudah kasi tempat untuk kita simpan-simpan foto. Gak kebayang kalo kantor Facebook kena tsunami juga, makin susah aja cari foto jadul (jaman dulu) atau jarang (jaman sekarang).

Cerita ini tidak layak disebut sebagai cerpen, atau bahkan novel sekalipun, apalagi karya tulis ilmiah, skripsi, hingga thesis. Karena ini ada kolaborasi pengalaman pribadi, imajinasi, khayalan, survey yang tidak penting, dll. Mungkin lebih tepat disebut sebagai tulisan aja. Tapi tulisan juga bukan, karena tidak ditulis pake pulpen, tapi diketik pake laptop yang aku gak usah sebut merk nya, karena nanti dituduh promosi. Oke, kalo gitu cerita atau ketikan ini diketik pake laptop Samsung. Tujuan aku mengetik ini bukan untuk jadi penulis seperti Andrea Hirata, atau Pramoedya Ananta Toer sekalipun, bahasa mereka indah walo kadang tak sanggup kujangkau. Jangan harap EYD pada cerita ini. Karena yang sempurna itu cuma Allah. Tujuan aku mengetik ini ya untuk mengetik aja, sementara urusan baca itu bukan urusan aku, itu urusan kalian. Jangan campuri urusan kita, karena kita punya urusan masing-masing.

Beberapa nama orang di dalam cerita ini ada nama sebenarnya, ada yang nama tidak sebenarnya, atau ada nama dan tokoh khayalan. Karena siapa tau Batman dan Superman bisa masuk disini juga. Suka-suka aku, aku yang tulis. Kalo gak suka aku itu wajar, karena yang suka sama aku udah ada, yaitu istri dan anak-anakku, dan kakakku, adik sepupuku, om,tante,cek,yahwa, yahnek,tetangga,dan kawanku.

Bismillah, namaku Fahmi, cukup panggil itu aja, ato panggi Fam, ato Mi, atah Fahmi juga boleh. Walaupun namaku Fahmi Yunus, karena ada nama Ayahku diujungnya. Wajar Ayahku menitipkan namanya disana, karena aku anaknya. Coba aku anak SBY, pasti namaku Fahmi SBY. Tapi itu juga gak mungkin, karena mamakku tak pernah menikah dengan SBY. Cintanya untuk ayahku seorang, yang bernama Pak Yunus tadi.
(*catatan: SBY itu bukan Surabaya, tapi Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Indonesia. Silakan baca koran atau cari di google kalo gak percaya). 

Aku masuk kelas SMP kelas 1, itu tahun 1989 kelasnya I-5. Siswanya kurang lebih 40an. Mana sanggup kuingat jumlah persisnya. Yang pasti wali kelasnya bernama Bu Yulidar. Dia guru Matematika. Penyabar, sayang muridnya dan dekat rumahnya. Beliau juga pintar, karena berkacamata. Dulu aku berkesimpulan setiap orang yang berkacamata pasti pintar. Itu dulu! Sekarang juga masih. SMP 1, di era 80-90an adalah sekolah favorit. Gak tau sekarang, semoga masih. Aku gak ikutin perkembangan SMP favorit, karena aku gak sekolah lagi. Favorit dan terbaik karena banyak lulusan SD yang berebut masuk kesana, walaupun pintu gerbangnya cuma dua. Di belakang sebenarnya ada pintu juga, tapi jarang dibuka, biasanya untuk anak-anak yang suka cabut. (Nanti akan kubahas apa itu cabut, bukan cabut gigi, atau cabut yang bisa terbang,..oh itu kabut).

Kembali ke sekolah favorit. Karena favorit tapi tempatnya terbatas banyak yang tidak bisa masuk sehingga mereka menjerit. Dulu penilaian dan standardisasi masuk sekolah pake NEM (Nilai Ebtanas Murni) atau perhitungan yang menggunakan kalkulator bagi yang menggunakannya. Saat itu untuk masuk SMP 1 minimal dapat NEM 37. Waktu itu aku dapat 41. Artinya ada kelebihan 4 angka. Anda kelebihan itu bisa kubagikan pada teman-temanku yang di bawah 37, tapi itu tak mungkin, karena pasti gak diijinin menteri dan kepala dinas pendidikan saat itu. Demi masuk SMP 1 aku harus rela, naik labi-labi. Ya, labi-labi itu sejenis transportasi publik, di daerah lain ada yang sebut angkot, sudako. Bukan Ferrari. 



2


Teman semejaku, (bukan sebangku), namanya Beny. Kami berbagi meja bukan kursi. Kadang-kadang berbagi jajanan plus contekan. Dia pandai main gitar dan hobi balap kereta (motor). Aku juga hobi main gitar tapi tidak suka balap kereta. Dia suka Steve Vai, aku lebih ke Slash. Dia digilai cewek-cewek, aku diteriaki cewek "gila..gila!" Sebagai teman semeja kami harus kompak. Setidaknya harus saling membantu saat guru suruh maju ke depan papan tulis, buat PR, dan yang paling penting kami punya selera musik yang sama.

Oya, tiba-tiba teringat cerita tentang waktu pelajaran bahasa Inggris, Gurunya wanita, orang batak. Satu-persatu kita ditanyai saat belajar perkenalan dalam bahasa Inggris.

"What is your name?" tanya bu guru kepada siswa cewek alias siswi yang duduk di depannya.

"My name is Retno" jawab si siswi itu. Diduga, siswa yang duduk di depan adalah siswa yang cerdas, rajin, dan perhatian sama guru. Tapi teori itu tidak berlaku. Biasanya siswa yang duduk paling depan adalah mereka kurang tinggi. Jadi kalo mereka duduk di belakang, akan susah lihat ke depan karena dihadang oleh kawannya yang lebih tinggi. 

Tapi Retno ini, memang pada dasarnya pintar. Buktinya, aku sering pinjam buku catatannya. Bukan karena aku malas mencatat apa yang disampaikan guru, tapi aku yakin masa depan atau beberapa puluh tahun lagi kita akan menulis lebih sedikit, dan mengetik lebih banyak. Buktinya sekarang aku tidak menulis pake pulpen. Buku catatan Retno rajin difotocopy oleh siapa saja. Retno yang cerdas itu juga baik dengan merelakan buku catatannya ditindih berkali-kali oleh mesin fotocopy itu.

Pertanyaan selanjutnya ke Jol. Itu nama pendeknya, nama panjangnya aku lupa, karena pasti panjang. Jangan-jangan Jolkifli, atau Jolfikar, atau Joli-Joli.

"What is your name?" tanya bu guru lagi sambil menunjuk temanku itu. Dengan lantang Jol menjawab

Jol menjawab mantap, "My name is tiga puluh sembilan?

Ternyata dia kira, "name (nama)" adalah NEM, bukan nama. Makanya dengan bangga dia bilang tiga puluh sembilan.

Kamipun tertawa satu kelas. Ada juga yang tertawa malu karena masih kelas satu.

Jol ini cuek dan lucu. Logat Acehnya masih kental alias medok. Misalnya huruf "T" pengucapannya persis seperti orang Bali. Jol sering ditertawakan kawan-kawan karena logatnya itu. Menurutku itu tak perlu ditertawakan, justru kita harus bangga. Buktinya, lihat presiden saat itu, Soeharto. Kurang medok gimana logat jawanya. Atau Naga Bonar, kurang batak gimana logatnya? Justru kemedokan ini harus dijaga dan dilestarikan, bukan?

Jol bercita-cita ingin jadi polisi militer.



*** Di En ***


BAGIAN 2
Terowongan Bawah Tanah
3

Pertama kali masuk semua SMP siswa wajib ikut P4. Program Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tidak hanya SMP, untuk masuk SMA, kuliah, bahkan pegawai juga harus ikut program ini. Katanya tujuannya supaya dapat menghayati dan mengamalkan Pancasila. Tapi kenapa korupsi masih banyak? Silakan diisi pilihan berikut:
a) Apakah koruptor itu tidak ikut P4?
b) Apakah mereka ikut P4 tapi tidur di kelas?
c) Apakah mereka ikut tapi asik ngobrol dengan temannya calon koruptor?
d) Wallahu'alam.

Siswa/i yang ikut P4 ini ratusan jumlahnya. Kami dikumpulkan di gedung olah raga sekolah. Tempatnya di tengah-tengah SMP 1, di lapangan upacara, dan dekat pohon besar yang di bawahnya ada tempat duduk dari beton yang dibikin untuk diduduki. Beberapa dari kami ada juga yang lompat dan berlari di atasnya. Jika dilihat guru pasti mereka turun secara otomatis.

SMP 1 ini sebenarnya gedung bersejarah, bangunan peninggalan Belanda. Bahkan di salah satu kelas ada terowongan yang menghubungkan SMP 1 dengan kakaknya, SMA 2, dan bisa juga tembus ke masjid raya Baiturrahman, yang sekian kilometer jaraknya. Jika jaman dulu Belanda udah bisa bikin terowongan seperti itu, kebayang gimana serunya. Mungkin Gubernur Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dalam membangun MRT di Jakarta juga terinspirasi dari terowongan ini. Atau jangan-jangan Jokowi juga lulusan SMP 1? Bisa jadi, bisa juga tidak jadi. Memang angkatan aku ada yang namanya Joko, bukan Jokowi lengkapnya. Jokowow namanya. Akhirnya cerita terowongan ini menjadi mitos yang melegenda dan sekaligus kebanggaan anak SMP 1.  Buktinya, abang atau kakak kelas sering bercerita dengan bangganya,

"Eh, tau gak kalian, di bawah kelas kita itu ada terowongan yang nyambung ke masjid raya" sesumbar abang itu.

"Emang pernah masuk kesana?" tanya adik kelas yang lugu.

"Belum lah!" jawabnya dengan pasti.

Dan percakapanpun usai.

Sempat terdengar isu bahwa guru-guru senior pernah masuk ke terowongan itu. Tapi itu tak terbukti. Ada juga isu katanya disana terdapat harta karun peninggalan Belanda. Menurut aku ini isu sesat, ya gak mungkinlah Belanda ninggalin harta karunnya di sini, pasti udah dibawa semua kesana. Kalo memang betul ada orang Belanda yang ninggalin harta karunnya di terowongan itu dapat dipastikan dia itu adalah Belanda yang diragukan kebelandaannya. Tidak hanya isu harta karun, terowongan itu juga diterpa isu hantu. Ya, katanya di bawah itu ada hantu. Lagi-lagi aku curiga dan gak percaya. Ngapain pulak hantu tinggal disana, karena gak ada orang yang lewat, gak ada yang perlu ditakut-takutin. Dan masih banyak cerita-cerita lain, tergantung siapa yang ceritain.

Jika memang terowongan itu memang ada sejak jaman Belanda, maka aku pasti kagum dan salut sama yang menggalinya. Bayangkan, disaat pemerintah sekarang aja masih belum becus buat jalan di atas tanah. Hari ini diaspal, tiga bulan lagi mulai berlobang. Ah, andai Belanda masih menjajah kita, maukah mereka ajarkan main sepak bola? Mungkin kesannya aku gak punya nasionalisme karena masih "rindu Belanda", dan mintak dijajah lagi. Menurutku, maraknya kasus korupsi, kolusi, hingga kekerasan lainnya justru menjadikan kita sebagai bangsa yang menjajah anak bangsanya sendiri. Jeruk makan jeruk. 

Kembali ke terowongan tadi. Ya udah, gak ada yang perlu diceritain tentang terowongan bawah tanah itu, karena sebagian besarnya masih misteri. Nanti cerita ini jadi kisah-kisah misteri. Kalo sutradara dan produser sinetron tau, bisa-bisa dibuat sinetron horor, judulnya "Misteri Terowongan Hilang". Oke, kayaknya kita stop dulu cerita tentang terowongan itu lah.

Oya sory, masih ada lagi rupanya. Ada yang juga bilang letaknya tepat di bawah kelas III-7, kelas paling kanan yang kelasnya paling besar dan seperti layout bioskop. Tempat duduknya bertingkat-tingkat, dan di area belakang masih luas, ada tempat untuk bermain, bersenang-senang sambil tunggu guru datang.


----Bersambung

*****