Senin, 5 Januari 2015
SAYA termasuk
orang yang sependapat bahwa final piala Champion Eropa yang paling dramatis
adalah saat Manchester United (MU) melawan Bayern Munchen di stadion Camp Nou,
Barcelona pada 26 Mei 1999 silam. MU secara menakjubkan mampu membalikkan
keadaan dari tertinggal 0-1 dan menjadi jawara liga paling bergengsi di Eropa
itu di saat injury time. Saat tertinggal 0-1, manajer MU saat itu Alex Ferguson
mengubah strategi dan taktik. Ia menukar Blomqvist dengan Teddy Sheringham dan
mengganti Andy Cole dengan Ole Gunnar Solksjaer. Secara normal waktu telah
berakhir, namun masih ada bonus injury time 3 menit. Ternyata 3 menit mampu
dimanfaatkan MU dengan sangat efektif.
Keajaiban terjadi saat pemain pengganti
Sheringham mencetak gol penyeimbang menjadi 1-1. Keajaiban untuk MU belum
berakhir tatkala Solkjaer yang juga pemain pengganti menjadi penentu kemenangan
2-1, membawa MU resmi menjadi juara. Tidak hanya saya yang sangat terkesan
dengan pertandingan ini, bahkan bagi wasit plontos yang terkenal tegas,
Pierluigi Collina, mencatat pertandingan ini sebagai pertandingan yang paling
dikenang selama ia menjadi hakim di lapangan hijau. Terakhir, sang penjaga
gawang Peter Schmeichel juga memutuskan gantung sepatu. Ini adalah final
terakhirnya.
Tak jauh beda
Itu cerita tentang sepakbola, untuk konteks Aceh dan pembangunannya saya rasa tak jauh beda. Tahun 2015 ini adalah tahun ketiga bagi pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Walaupun masih pertengahan periode, tapi bagi saya catatan dan capaian pemerintah Aceh dari segi ekonomi pada 2014 lalu masih jauh dari harapan. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan terburuk sepanjang mereka memegang tampuk pemerintahan.
Itu cerita tentang sepakbola, untuk konteks Aceh dan pembangunannya saya rasa tak jauh beda. Tahun 2015 ini adalah tahun ketiga bagi pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Walaupun masih pertengahan periode, tapi bagi saya catatan dan capaian pemerintah Aceh dari segi ekonomi pada 2014 lalu masih jauh dari harapan. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan terburuk sepanjang mereka memegang tampuk pemerintahan.
Hal tersebut dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi. Memang kinerja perekonomian bisa diukur oleh beberapa
indikator ekonomi yang menjadi cerminan kegiatan ekonomi di masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi dipakai dan dianggap sebegai indikator terpenting untuk
menilai pencapaian ekonomi suatu negara atau daerah.
Saat mengukur perekonomian Aceh, tentu kita tidak bisa lepas dari kondisi
perekonomian Indonesia, dan internasional. Untuk konteks Indonesia, beberapa
lembaga memprediksi perekonomian Indonesia pada 2015 ini akan lebih baik dari
sebelumnya. Lembaga seperti ADB dan The World Bank memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi Indonesia berada pada kisaran 5,6%. Dari sisi investasi walaupun masih
lemah, namun dari sisi ekspor cenderung lebih baik, mengingat perekonomian
global seperti Amerika Serikat yang menunjukkan trend positif. Walaupun nilai
tukar mata uang rupiah terhadap dolar sempat tembus ke angka psikologi Rp
13.000, namun beberapa pakar sepakat bahwa perekonomian Indonesia secara makro
diperkirakan akan lebih baik.
Berbanding
terbalik dengan proyeksi ekonomi nasional dan global, saya justru agak pesimis
dengan pertumbuhan ekonomi Aceh yang secara “konsisten” mengalami penurunan.
Jika merujuk pada “Catatan Akhir 2014 dan Outlook Perekonomian Aceh 2015” yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), perekonomian Aceh tahun lalu mengalami
penurunan. BI memperkirakan sampai akhir 2014 pertumbuhan ekonomi kita berada
pada angka 3,24% (Serambi, 29/12/2014).
Dari
sisi permintaan, konsumsi rumah tangga dan pemerintah memiliki share 64% bagi
ekonomi Aceh. Konsumsi rumah tangga mengalami stagnansi, sementara untuk sisi
konsumsi pemerintah mengalami penurunan yang disebabkan oleh penyerapan
anggaran pemerintah Aceh yang tidak mampu mencapai target. Lalu angka ekspor
yang menurun juga berkontribusi terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi. Namun
yang lebih parah adalah pertumbuhan investasi yang mengalami penurunan cukup
signifikan dari 16,7 menjadi 4,8%. Hal ini dipicu oleh menurunnya pertumbuhan
investasi baik pemodal asing maupun dalam negeri.
Dari
sisi penawaran, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yaitu sektor
pertanian juga mengalami perlambatan, salah satunya karena adanya bencana alam
seperti kekeringan. Intinya, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Aceh pada
2015 ini akan tumbuh sebesar 2,9 sampai 3,3%. Angka ini tentunya lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu, apalagi jika dibandingkan
dengan target secara nasional.
Dari
berbagai laporan tahun lalu dan proyeksi tahun ini, pemerintah Aceh sebenarnya
masih punya waktu untuk memperbaiki kinerja mereka, walaupun dengan masa yang
sebenarnya sudah memasuki santeng atau “injury time”. Jika Sir Alex melakukan
re-strategizing saat tertinggal 0-1, maka pemerintah Aceh harus juga melakukan
re-strategisasi dalam tata kelola pemerintahannya.
Saya
tidak dalam posisi menyarankan untuk mengganti para pejabat, seperti mengganti
pemain yang dilakukan dalam sepakbola, tetapi yang jauh lebih penting adalah
siapa pun pejabat atau pembantu gubernur dan wakil gubernur tersebut harus
paham dan dapat menerjemahkan visi dan misi pemerintah Aceh ini.
Untuk
urusan gonta-ganti, seolah menjadi momok mengerikan bagi pejabat setingkat
kepala dinas atau badan. Namun saya belum pernah melihat adanya suatu indikator
yang jelas dan terukur untuk menilai layak atau tidaknya seorang pejabat
menduduki posisi tertentu atau mengapa ia diganti. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa penentuan pejabat tersebut ditentukan berdasarkan “bisikan” kelompok
tertentu, tanpa adanya rapor berbasis kinerja, kapabilitas, dan pencapaian yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Jangan
ada intrik
Yang tak kalah penting, pada 2015 ini “Aceh 1” dan “Aceh 2” sudah harus saling bergandeng tangan (lagi) untuk bekerja sama dalam membangun Aceh. Jangan ada lagi intrik, “politik kotor” atau upaya saling jegal antarsesama. Konflik antara dua pucuk pimpinan ini tentunya berimbas bagi jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Silent conflict ini sudah dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan aspek-aspek lain yang mengkhawatirkan.
Yang tak kalah penting, pada 2015 ini “Aceh 1” dan “Aceh 2” sudah harus saling bergandeng tangan (lagi) untuk bekerja sama dalam membangun Aceh. Jangan ada lagi intrik, “politik kotor” atau upaya saling jegal antarsesama. Konflik antara dua pucuk pimpinan ini tentunya berimbas bagi jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Silent conflict ini sudah dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan aspek-aspek lain yang mengkhawatirkan.
Waktu
yang tersisa hingga 2017 seharusnya dioptimalkan oleh pemimpin Aceh untuk
bekerja sekuat tenaga untuk kepentingan rakyat, bukan mengejar kepentingan
sempit dan saling jegal untuk “kepentingan” 2017. Dulunya mereka juga para
pimpinan yang menuntut Aceh merdeka. Malu rasanya jika dulu berkoar-koar
menyuarakan kesejahteraan rakyat, tetapi saat mendapat kesempatan memimpin
ternyata tidak terbukti.
Tidak
hanya rakyat, tentunya para pemimpin ini ingin merasakan husnul khatimah di
akhir pemerintahannya, dan kelak dikenang sebagai pemimpin yang mampu
menyejahterakan rakyat Aceh. Dari sisi ekonomi, kita masih berharap pemerintah
Aceh sekarang mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi seperti saat MU
membalikkan kekalahan menjadi kemenangan.
Fahmi
Yunus, Dosen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam,
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email:
fahmiyunus@gmail.com
http://aceh.tribunnews.com/2015/01/05/mau-dibawa-kemana-perekonomian-kita?page=3
(Tulisan
ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Senin, 5 Januari 2015)
No comments:
Post a Comment