Salah satu alasan saya tidak membawa anak- anak ketika
ziarah ke kuburan massal tsunami adalah saya tidak ingin terlihat sedang
menangis oleh anak- anak saya. Sebagai seorang laki- laki, dan ayah saya akan
merasa tak pantas menangis di depan anak. Positioning
saya sebagai ayah adalah seorang pria yang kuat. Pencitraan yang saya
bangun tentang seorang ayah adalah laki- laki yang tegar, tabah, sabar dalam
menghadapi hidup. Ayah harus menjadi seorang “superman” bagi anak- anaknya.
Tapi hari ini saya “terpaksa” membawa 2 orang buah hati
mungil itu ke kuburan massal di Siron, Lambaro. Sejak pagi mereka merengek,
setengah menangis minta ikut saya ziarah pada tanggal 26 Desember 2014, atau 10
tahun setelah bencana gempa tsunami yang memisahkan saya dengan ayah, mamak,
istri yang sedang hamil, mertua, 2 adik dan keponakan yang lucu, sepupu, sodara,
teman yang tak jumlahnya tak bisa saya sebutkan jumlahnya.
Akhirnya saya menyerah, dan mereka menyetujui beberapa
syarat.
Sesampai di kuburan massal Siron, terasa atmosfir yang susah
saya uraikan. Memang hingga saat ini saya tidak tahu dimana keluarga saya
dimakamkan. Bahkan tidak ada satupun saksi mata yang selamat yang mengetahui
atau setidaknya pernah melihat saat mereka dikuburkan. Saya hanya menduga dan
menggunakan feeling saja bahwa ada
anggota keluarga saya dikuburkan di kuburan massal korban tsunami terbesar di
Aceh itu.
Baru melangkah beberapa meter, perasaan ini mulai bercampur
aduk. Haru, mengundang air mata yang ingin segera tumpah. Saya coba tahan, dan
berhasil. Kami keliling melihat kuburan massal. Saat itu di salah satu
gundukan, Aya putri saya yang berusia 6 tahun, bertanya sambil mengarahkan
jarinya.
“Ayah, kenapa di kuburan ini ada orang bakar lilin dan asap?”
Saya jelaskan itu adalah ritual doa yang dilakukan oleh
sodara- sodara kita Tionghoa. Saya bilang ke Aya, mereka punya cara berbeda
dengan kita dalam berdoa. Memang dibawah pekuburan massal ini berbaring puluhan ribu manusia
dari berbagai suku, ras dan agama.
Selamat. Saya masih bisa mempertahankan air mata agar tak
tumpah, ujar saya dalam hati.
Lalu kami duduk, dan saya mulai membaca doa. Salah satunya
surah Yasin. Baru mengucapkan bismillah
air mata ini sudah mulai tak terbendung. Rafa putra saya yang berusia 3 tahun,
sempat memperhatikan mata saya, terlihat wajahnya bingung. Mungkin dia sedang
bertanya, mengapa mata ayah merah dan seperti berair. Tapi dia urung bertanya,
mungkin dia masih berfikir mata saya kemasukan debu.
Ayat demi ayat saya bacakan, doa pun saya lantunkan untuk
keluarga saya dan siapa saja di bawah tanah itu. Namun air mata ini seperti air
bah disaat musim hujan. Ia tak mampu dibendung lagi, mengalir begitu saja tanpa
mampu saya kendalikan. Kini terlihat wajah heran dari Aya dan Rafa. Lagi- lagi
mereka tak berani bertanya langsung kepada saya, mungkin mereka ingin menjaga
pencitraan yang sedang saya bangun selama ini.
Setelah berdoa, kami berbincang dan mereka mengajukan
pertanyaan- pertanyaan yang beberapa diantaranya mampu saya jawab, sedangkan
sisanya saya hanya terdiam.
Misalnya Aya tanya, “Ayah kenapa orang- orang meninggal
harus dikubur?”
“Kenapa ada tsunami?”
“Mengapa kita harus berdoa?”
Atau pertanyaan Rafa, “Ayah, tadi katanya mau pergi ke
tempat orang meninggal, tapi mana orang meninggalnya?”
Terakhir keduanya bertanya dengan kompak, “Ayah kenapa di
kuburan ini ada orang yang jual mainan?” tanya mereka sambil menunjuk seorang
pria yang sedang jual balon warna- warni keliling.
Mata saya makin bengkak dan merah, saat menutup doa- doa.
Karena yang terbayang adalah wajah keluarga tercinta yang entah dimana. Di
dalam hati saya berbisik, walaupun saya ziarah ke kuburan ini cuma 1 tahun
sekali, tapi saya selalu mendoakan mereka. Di dalam shalat saya selalu memohon
Allah SWT mengampuni dosa mereka, melapangkan kuburnya, dan memberikan mereka
tempat indah yang bernama syurga. Doa itu selalu saya panjatkan tanpa henti,
tanpa perlu menunggu tanggal 26 Desember.
Disana saya juga berbisik dengan air mata yang berurai, “Aku
selalu rindu dan selalu sayang pada kalian”
Sebelum meninggalkan Siron, saya sempat bertemu abang ipar,
atau abang dari istri saya Maisarah. Kami berpelukan erat, sambil melepaskan
air mata sebanyak- banyaknya. Sepertinya ini air mata yang tadi sempat
tertunda. Kini ia lepas, bebas, tanpa segan keluar dari celah- celah yang ada
di mata saya. Kedua- anak saya juga memandang kami, tapi mereka tak bertanya
lagi.
Akhirnya kami pulang. Seperti biasanya dua anak yang lahir
dari seorang ibu bernama Cut Aida itu minta beli ini dan itu, mereka minta
jajan. Sambil sekali- kali melihat saya menyeka sisa- sisa air mata.
Sesampai di rumah mereka bermain lagi. Beberapa saat
kemudian istri saya yang tidak ikut pada ziarah tadi karena sedang hamil tua
anak ketiga kami memanggil saya ke dalam kamar. Istri saya bilang tadi Rafa
sempat cerita, katanya,
“Ma, tadi Adek lihat Ayah menangis”
Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihi wa’fuanhum.... #26 Desember 2014.
No comments:
Post a Comment