Salah satu perhatian penting orangtua terhadap anaknya
adalah mengetahui dengan siapa mereka berteman dan bermain. Sebagai Ayah, saya
sering memperhatikan anak yang sedang bermain, saya juga sering curi-dengar apa
yang dibicarakan anak-anak dengan temannya. Ada yang lucu, aneh keluar dari
mulut-mulut mungil mereka. Saya juga sering khawatir dan ikut
"jantungan" saat mereka bereksperimen permainan baru. Apalagi, kalo
melihat Rafa yang baru berusia 3 tahun, mulai rajin salto. Entah siapa yang
dilihatnya, padahal, saya gak pernah salto dihadapan mereka, selain karena
faktor usia, juga karena tak selincah mereka. Jika saltonya atau jungkir balik
di atas tempat tidur, saya masih agak tenang, tapi saat melihat dia
ancang-ancang salto di lantai, saya siap-siap melarang. Ada yang bilang,
anak-anak tak boleh dilarang, tapi sebagai orang tua, kita perlu tahu mana yang
dibolehkan dan mana yang harus dilarang. Untuk seumur Rafa, salto di lantai,
saya haqqul yaqin itu harus dilarang.
Setelah itu biasanya saya kasih alternatif aktivitas lain.
Baru-baru ini, Aya, putri saya yang berusia 6 tahun, masih
TK, punya teman perempuan baru, yang usia 2 tahun di atas Aya, dan sekarang
sudah kelas 2 SD. Sebut saja namanya Bela. Saya tak kenal orang tuanya, tapi
mereka penghuni baru di komplek kami, yang rumahnya berada sekitar 50 meter
dari rumah kami. Yang mengejutkan, ini serius membuat saya terkejut, atau
tepatnya shock, Bela yang kelas 2 SD ini ternyata belum bisa membaca. Menurut
saya, kalo masih kelas 1 belum bisa membaca, It's OK, karena masih belajar.
Tapi, kalo kelas 2, saya bertanya dalam hati dan sering berdiskusi dengan istri
saya. Dan kalo dia tak bisa membaca, kenapa dia bisa naik ke kelas 2?
Aya, mungkin agak unik. Walaupun secara khusus kami tak
pernah mengajarinya baca-tulis, tapi kami membiarkan Aya mencorat-coret dinding
sesukanya. Boleh pake pensil, spidol, crayon, dll. Walaupun terkadang, jadi gak
enak saat tamu atau saudara datang mendapati rumah kami mulai dari ruang tamu
hingga kamar tidur sudah seperti gallery lukisan abstrak. Dan, awal Aya bisa
menulis namanya, ya di dinding rumah kami. Dengan bangga ia pamerkan kepada
kami saat pertama kali ia berhasil menuliskan "AYA" (pakai huruf
besar semua). Selain itu saya dan istri punya hobi membaca, juga sering
membacakan cerita, dongeng, dari buku menjelang mereka tidur. Saya rasa
kebiasaan melihat orang tuanya membaca, dan mendengarkan cerita sebelum tidur
membuat Aya punya motivasi yang kuat untuk bisa membaca. Alhasil, tiap malam
sebelum tidur Aya minta dibacakan cerita apa saja, baik dongeng, kisah-kisah
teladan, dan lain-lain, yang penting ada sesuatu yang harus dibacakan.
Mungkin juga karena bebas menggambar di dinding, saya
melihat Aya punya bakat menggambar. Sering ia menulis atau menggambar sesuatu
di kertas kecil dan diwarnai, lalu memberikan kepada sebagai hadiah. Karya dan
gambar Aya adalah cara dia mengekspresikan sayangnya kepada orang lain dengan
memberikan sesuatu. Ya, dengan gambar atau tulisan. Pernah, dengan bangga ia
tuliskan nama abang sepupunya di sebuah kertas, dan dengan penuh kebanggan
menyerahkan kepada sepupu tersebut sebagai hadiah. Mungkin bagi mereka itu
biasa, tapi bagi saya itu luar biasa.
Kembali ke Bela teman baru Aya. Karena agak susah bagi orang
tua melarang anaknya bermain dengan siapa, karena di tempat tinggal kami
anak-anak seusianya agak langka. Selain, kami tak ingin membiasakan anak-anak
nonton TV, maka kami lebih memilih opsi anak bermain-main, berinteraksi secara
langsung dengan temannya. Tapi saya dan istri tetap memantau. Jika mereka
bermain di dalam rumah masih mudah dipantau, tapi saat bermain di luar rumah,
kami sering mengintip dari jendela mereka dimana, atau sedang bermain apa.
Apalagi, beberapa kasus di media tentang kekerasan terhadap anak makin membuat
orang tua khawatir dan resah.
Istri saya pernah bilang, "Kita harus bisa memberikan
pengaruh baik kepada teman anak-anak kita sebagai pencegahan agar anak kita
tidak terpengaruh hal-hal yang tidak baik." Salah satu hal luar biasa yang
sedang dan telah dilakukan istri saya adalah ia menjadi "relawan"
yang mengajari Bela membaca. Disaat mereka bermain, ada waktu tertentu dimana
istri saya mengajari Bela, tidak lama, sekitar 30an menit. Dan kita juga kaget,
ternyata Bela bukan hanya tak bisa membaca, tapi juga tak hafal huruf. Dia masih
susah membedakan "C" dan "G". Sesekali Rafa, anak laki-laki saya yang berusia 3 tahun
ikut nimbrung memberitahukan bacaan yang tepat, walaupun masih cadel. Dampak
positif lainnya, selain mengajarkan Bela, secara tidak langsung Rafa jadi ikut
semangat melihat orang belajar. Ia mulai bisa membaca beberapa huruf.
Beberapa minggu lalu, anak SD
sedang ujian naik kelas. Saya sempat tanya ke Bela, "Besok ada
ujian apa Nak?" Dia jawab "Itu..tu ujian yang ada isi-isinya".
Saya terdiam dan berfikir entah siapa yang patut disalahkan. Apakah sang anak,
orangtua, guru, pihak sekolah atau sistem pendidikan? Bela, bahkan dia tidak
tahu akan ujian apa esok hari, sementara sudah kelas 2.
No comments:
Post a Comment