Oleh-oleh Fahmi Yunus
BAGIAN 1
1
SMP 1 pendeknya, nama panjangnya Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Banda Aceh. Mudah dicari, karena letaknya bersebelahan dengan SMA 1 di kanan, dan SD 1 di kiri. Persis seperti cerdas cermat, bisa jadi SMP 1 adalah juru bicaranya, atau kalo di film, kayak bosnya yang selalu berada di tengah, diapit oleh anak buah (ajudan) kiri dan kanan.
Agak susah dapetin dokumentasi foto SMP 1 sebelum tsunami, 24 Desember 2004. Foto ini didapat dari Facebook. Makasih Facebook, makasih Mark Zuckenberg yang sudah kasi tempat untuk kita simpan-simpan foto. Gak kebayang kalo kantor Facebook kena tsunami juga, makin susah aja cari foto jadul (jaman dulu) atau jarang (jaman sekarang).
Cerita ini tidak layak disebut sebagai cerpen, atau bahkan
novel sekalipun, apalagi karya tulis ilmiah, skripsi, hingga thesis. Karena ini ada kolaborasi pengalaman pribadi, imajinasi,
khayalan, survey yang tidak penting, dll. Mungkin lebih tepat disebut sebagai
tulisan aja. Tapi tulisan juga bukan, karena tidak ditulis pake pulpen, tapi
diketik pake laptop yang aku gak usah sebut merk nya, karena nanti dituduh promosi.
Oke, kalo gitu cerita atau ketikan ini diketik pake laptop Samsung. Tujuan aku mengetik ini bukan untuk jadi penulis seperti
Andrea Hirata, atau Pramoedya Ananta Toer sekalipun, bahasa mereka indah walo
kadang tak sanggup kujangkau. Jangan harap EYD pada cerita ini. Karena yang sempurna itu cuma Allah. Tujuan aku mengetik ini ya untuk mengetik aja,
sementara urusan baca itu bukan urusan aku, itu urusan kalian. Jangan campuri
urusan kita, karena kita punya urusan masing-masing.
Beberapa nama orang
di dalam cerita ini ada nama sebenarnya, ada yang nama tidak sebenarnya, atau
ada nama dan tokoh khayalan. Karena siapa tau Batman dan Superman bisa masuk
disini juga. Suka-suka aku, aku yang tulis. Kalo gak suka aku itu wajar, karena
yang suka sama aku udah ada, yaitu istri dan anak-anakku, dan kakakku, adik
sepupuku, om,tante,cek,yahwa, yahnek,tetangga,dan kawanku.
Bismillah, namaku Fahmi, cukup panggil itu aja, ato panggi
Fam, ato Mi, atah Fahmi juga boleh. Walaupun namaku Fahmi Yunus, karena ada
nama Ayahku diujungnya. Wajar Ayahku menitipkan namanya disana, karena aku
anaknya. Coba aku anak SBY, pasti namaku Fahmi SBY. Tapi itu juga gak mungkin,
karena mamakku tak pernah menikah dengan SBY. Cintanya untuk ayahku seorang,
yang bernama Pak Yunus tadi.
(*catatan: SBY itu bukan Surabaya, tapi Susilo Bambang
Yudhoyono, presiden Indonesia. Silakan baca koran atau cari di google kalo gak percaya).
Aku masuk kelas SMP kelas 1, itu tahun 1989 kelasnya I-5.
Siswanya kurang lebih 40an. Mana sanggup kuingat jumlah persisnya. Yang pasti
wali kelasnya bernama Bu Yulidar. Dia guru Matematika. Penyabar, sayang
muridnya dan dekat rumahnya. Beliau juga pintar, karena berkacamata. Dulu aku
berkesimpulan setiap orang yang berkacamata pasti pintar. Itu dulu! Sekarang
juga masih. SMP 1, di era 80-90an adalah sekolah favorit. Gak tau sekarang, semoga masih. Aku gak ikutin perkembangan SMP favorit, karena aku gak sekolah lagi.
Favorit dan terbaik karena banyak lulusan SD yang berebut masuk kesana, walaupun pintu
gerbangnya cuma dua. Di belakang sebenarnya ada pintu juga, tapi jarang dibuka,
biasanya untuk anak-anak yang suka cabut. (Nanti akan kubahas apa itu cabut,
bukan cabut gigi, atau cabut yang bisa terbang,..oh itu kabut).
Kembali ke sekolah favorit. Karena favorit tapi tempatnya
terbatas banyak yang tidak bisa masuk sehingga mereka menjerit. Dulu penilaian
dan standardisasi masuk sekolah pake NEM (Nilai Ebtanas Murni) atau perhitungan
yang menggunakan kalkulator bagi yang menggunakannya. Saat itu untuk masuk SMP
1 minimal dapat NEM 37. Waktu itu aku dapat 41. Artinya ada kelebihan 4 angka.
Anda kelebihan itu bisa kubagikan pada teman-temanku yang di bawah 37, tapi itu
tak mungkin, karena pasti gak diijinin menteri dan kepala dinas pendidikan saat
itu. Demi masuk SMP 1 aku harus rela, naik labi-labi. Ya, labi-labi itu sejenis transportasi publik, di daerah lain ada yang sebut angkot, sudako. Bukan Ferrari.
2
Teman semejaku, (bukan sebangku), namanya Beny. Kami berbagi meja bukan kursi. Kadang-kadang berbagi jajanan plus contekan. Dia pandai main gitar dan hobi balap kereta (motor). Aku juga hobi main gitar tapi tidak suka balap kereta. Dia suka Steve Vai, aku lebih ke Slash. Dia digilai cewek-cewek, aku diteriaki cewek "gila..gila!" Sebagai teman semeja kami harus kompak. Setidaknya harus saling membantu saat guru suruh maju ke depan papan tulis, buat PR, dan yang paling penting kami punya selera musik yang sama.
Oya, tiba-tiba teringat cerita tentang waktu pelajaran
bahasa Inggris, Gurunya wanita, orang batak. Satu-persatu kita ditanyai saat
belajar perkenalan dalam bahasa Inggris.
"What is your name?" tanya bu guru kepada siswa cewek
alias siswi yang duduk di depannya.
"My name is Retno" jawab si siswi itu. Diduga,
siswa yang duduk di depan adalah siswa yang cerdas, rajin, dan perhatian sama
guru. Tapi teori itu tidak berlaku. Biasanya siswa yang duduk paling depan
adalah mereka kurang tinggi. Jadi kalo mereka duduk di belakang, akan susah
lihat ke depan karena dihadang oleh kawannya yang lebih tinggi.
Tapi Retno ini, memang pada dasarnya pintar. Buktinya, aku sering pinjam buku catatannya. Bukan karena aku malas mencatat apa yang disampaikan guru, tapi aku yakin masa depan atau beberapa puluh tahun lagi kita akan menulis lebih sedikit, dan mengetik lebih banyak. Buktinya sekarang aku tidak menulis pake pulpen. Buku catatan Retno rajin difotocopy oleh siapa saja. Retno yang cerdas itu juga baik dengan merelakan buku catatannya ditindih berkali-kali oleh mesin fotocopy itu.
Tapi Retno ini, memang pada dasarnya pintar. Buktinya, aku sering pinjam buku catatannya. Bukan karena aku malas mencatat apa yang disampaikan guru, tapi aku yakin masa depan atau beberapa puluh tahun lagi kita akan menulis lebih sedikit, dan mengetik lebih banyak. Buktinya sekarang aku tidak menulis pake pulpen. Buku catatan Retno rajin difotocopy oleh siapa saja. Retno yang cerdas itu juga baik dengan merelakan buku catatannya ditindih berkali-kali oleh mesin fotocopy itu.
Pertanyaan selanjutnya ke Jol. Itu nama pendeknya, nama
panjangnya aku lupa, karena pasti panjang. Jangan-jangan Jolkifli, atau Jolfikar, atau Joli-Joli.
"What is your name?" tanya bu guru lagi sambil
menunjuk temanku itu. Dengan lantang Jol menjawab
Jol menjawab mantap, "My name is tiga
puluh sembilan?"
Ternyata dia kira, "name (nama)" adalah
NEM, bukan nama. Makanya dengan bangga dia bilang tiga puluh sembilan.
Kamipun tertawa satu kelas. Ada juga yang tertawa malu
karena masih kelas satu.
Jol ini cuek dan lucu. Logat Acehnya masih kental alias
medok. Misalnya huruf "T" pengucapannya persis seperti orang Bali.
Jol sering ditertawakan kawan-kawan karena logatnya itu. Menurutku itu tak
perlu ditertawakan, justru kita harus bangga. Buktinya, lihat presiden saat
itu, Soeharto. Kurang medok gimana logat jawanya. Atau Naga Bonar, kurang batak gimana logatnya? Justru kemedokan ini harus
dijaga dan dilestarikan, bukan?
Jol bercita-cita ingin jadi polisi militer.
*** Di En ***
BAGIAN 2
Terowongan Bawah Tanah
3
Pertama kali masuk semua
SMP siswa wajib ikut P4. Program Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tidak
hanya SMP, untuk masuk SMA, kuliah, bahkan pegawai juga harus ikut program ini.
Katanya tujuannya supaya dapat menghayati dan mengamalkan Pancasila. Tapi
kenapa korupsi masih banyak? Silakan diisi pilihan berikut:
a) Apakah koruptor itu
tidak ikut P4?
b) Apakah mereka ikut P4
tapi tidur di kelas?
c) Apakah mereka ikut
tapi asik ngobrol dengan temannya calon koruptor?
d) Wallahu'alam.
Siswa/i yang ikut P4 ini
ratusan jumlahnya. Kami dikumpulkan di gedung olah raga sekolah. Tempatnya di
tengah-tengah SMP 1, di lapangan upacara, dan dekat pohon besar yang di
bawahnya ada tempat duduk dari beton yang dibikin untuk diduduki. Beberapa dari
kami ada juga yang lompat dan berlari di atasnya. Jika dilihat guru pasti
mereka turun secara otomatis.
SMP 1 ini sebenarnya
gedung bersejarah, bangunan peninggalan Belanda. Bahkan di salah satu kelas ada
terowongan yang menghubungkan SMP 1 dengan kakaknya, SMA 2, dan bisa juga
tembus ke masjid raya Baiturrahman, yang sekian kilometer jaraknya. Jika jaman
dulu Belanda udah bisa bikin terowongan seperti itu, kebayang gimana serunya.
Mungkin Gubernur Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dalam membangun MRT di
Jakarta juga terinspirasi dari terowongan ini. Atau jangan-jangan Jokowi juga
lulusan SMP 1? Bisa jadi, bisa juga tidak jadi. Memang angkatan aku ada yang
namanya Joko, bukan Jokowi lengkapnya. Jokowow namanya. Akhirnya cerita
terowongan ini menjadi mitos yang melegenda dan sekaligus kebanggaan anak SMP
1. Buktinya, abang atau kakak kelas
sering bercerita dengan bangganya,
"Eh, tau gak
kalian, di bawah kelas kita itu ada terowongan yang nyambung ke masjid
raya" sesumbar abang itu.
"Emang pernah masuk
kesana?" tanya adik kelas yang lugu.
"Belum lah!"
jawabnya dengan pasti.
Dan percakapanpun usai.
Sempat terdengar isu
bahwa guru-guru senior pernah masuk ke terowongan itu. Tapi itu tak terbukti. Ada
juga isu katanya disana terdapat harta karun peninggalan Belanda. Menurut aku
ini isu sesat, ya gak mungkinlah Belanda ninggalin harta karunnya di sini,
pasti udah dibawa semua kesana. Kalo memang betul ada orang Belanda yang
ninggalin harta karunnya di terowongan itu dapat dipastikan dia itu adalah
Belanda yang diragukan kebelandaannya. Tidak hanya isu harta karun, terowongan
itu juga diterpa isu hantu. Ya, katanya di bawah itu ada hantu. Lagi-lagi aku
curiga dan gak percaya. Ngapain pulak hantu tinggal disana, karena gak ada
orang yang lewat, gak ada yang perlu ditakut-takutin. Dan masih banyak
cerita-cerita lain, tergantung siapa yang ceritain.
Jika memang terowongan
itu memang ada sejak jaman Belanda, maka aku pasti kagum dan salut sama yang
menggalinya. Bayangkan, disaat pemerintah sekarang aja masih belum becus buat
jalan di atas tanah. Hari ini diaspal, tiga bulan lagi mulai berlobang. Ah,
andai Belanda masih menjajah kita, maukah mereka ajarkan main sepak bola?
Mungkin kesannya aku gak punya nasionalisme karena masih "rindu
Belanda", dan mintak dijajah lagi. Menurutku, maraknya kasus korupsi,
kolusi, hingga kekerasan lainnya justru menjadikan kita sebagai bangsa yang
menjajah anak bangsanya sendiri. Jeruk makan jeruk.
Kembali ke terowongan
tadi. Ya udah, gak ada yang perlu diceritain tentang terowongan bawah tanah
itu, karena sebagian besarnya masih misteri. Nanti cerita ini jadi kisah-kisah
misteri. Kalo sutradara dan produser sinetron tau, bisa-bisa dibuat sinetron
horor, judulnya "Misteri Terowongan Hilang". Oke, kayaknya kita stop
dulu cerita tentang terowongan itu lah.
Oya sory, masih ada lagi
rupanya. Ada yang juga bilang letaknya tepat di bawah kelas III-7, kelas paling
kanan yang kelasnya paling besar dan seperti layout bioskop. Tempat duduknya
bertingkat-tingkat, dan di area belakang masih luas, ada tempat untuk bermain,
bersenang-senang sambil tunggu guru datang.
----Bersambung
*****
Tambah Lage donk wak ceritanya
ReplyDeleteSiap! Done
ReplyDeletePiet joe nanya yg edisi khusus itu wak...he2...
ReplyDeletehahahahaha
ReplyDeleteluculucu
keren,asik,
saya...tggu...kelanjutannya
paten !! semua-mua tulisan(ketikan)nya paten
ReplyDeletePak Fahmi, saya punya scan foto SMPN 1 Banda Aceh, original di-foto sekitar tahun 80an. Saat itu hari minggu sehingga tidak ada kegiatan sekolah.
ReplyDeleteKunjungi web saya di http://karoseri-adisatrio.blogspot.com/2013/08/scan-foto-kenangan.html
Wah mantap. Terimakasih pak fotonya. Salam
ReplyDelete