Hari ini 15 tahun lalu, 12 Mei 2000, pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati perjanjian perdamaian pertama yang ditandatangani di Bavois, Swiss. Ini adalah sejarah pertama dimana pemerintah RI dan GAM duduk bersama untuk berbicara dalam bahasa damai bukan bahasa senjata. Kesepahaman yang lebih dikenal dengan Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh atau sering disebut dengan “Jeda Kemanusiaan” ditandatangani oleh Hassan Wirajudha (sempat menjadi menteri luar negeri RI) mewakili pihak pemerintah dan dr. Zaini Abdullah (gubernur Aceh sekarang), mewakili GAM yang difasilitasi oleh lembaga internasional HDC (Centre for Humanitarian Dialogue) yang juga bermarkas di Swiss. Kesepahaman bersama menyepakati penghentian pertempuran selama tiga bulan, yang dibarengi oleh bantuan kemanusiaan untuk Aceh, dibentuknya modalitas keamananan untuk bantuan kemanusiaan dan yang paling penting adalah membangun kepercayaan antara keduabelah pihak yang sedang bertikai. Saya bersyukur, setidaknya pernah berperan dalam proses perdamaian ini melalui Unit Informasi Publik, yang bertugas mensosialisasikan segala kesepahaman dan proses perdamaian yang sedang berlangsung, sejak Desember 2000.
Jeda Kemanusiaan tidak lahir begitu saja, karena inisiasi pentingnya suatu dialog damai untuk menyelesaikan konflik bersenjata melalui meja perundingan sudah diinisiasi sejak tahun 1999 di era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ada beberapa pertemuan saat itu baik yang dilakukan di beberapa tempat di Aceh yang juga melibatkan pemimpin GAM di lapangan.
Bekerja di bagian informasi publik, atau ada yang bilang public relation suatu proses perdamaian adalah hal yang baru buat saya. “Dunia” politik dan konflik adalah dunia yang masih baru bagi saya yang fresh graduate dari fakultas ekonomi. Untung saat mahasiswa saya sempat aktif di pers kampus, dan sempat meliput beberapa peristiwa tentang konflik dan tragedi kemanusiaan di Aceh, jadi sedikitnya sudah paham tentang dinamika konflik yang terjadi di Aceh. Pada unit ini saya mulai berkenalan dan rajin berdiskusi dengan para jurnalis, aktifis NGO, pekerja kemanusiaan baik lokal maupun internasional. Setelah tiga bulan berlakunya Jeda Kemanusia, para pihak pada pertemuan di bulan September 2000 menyadari pentingnya untuk melanjutkan kesepahaman ini dalam upaya mencapai solusi damai konflik.
Pada tahun 2001, sejak bulan Januari hingga April pertemuan dan diskusi masih berlangsung dan masih difasilitasi oleh HDC. Beberapa nama pakar, tokoh mulai dilibatkan seperti William Ury, Hurst Hanum, Erick Avebury, dll. Tahun ini Jeda Kemanusiaan berakhir, menyepakati pengaturan keamanan baru, serta satu bulan moratorium kekerasan yang ditandai dengan adanya pertemuan para komandan lapangan di Banda Aceh.
Setelah moratorium kekerasan, pihak RI dan GAM menyepakati fase baru yang dikenal dengan “Damai Melalui Dialog” (Peace Through Dialogue), yang pada intinya para pihak masih sepakat bahwa perdamaian di Aceh harus ditempuh dengan cara- cara dialog dan damai. Era, ini menarik karena pihak GAM mulai mempertimbangkan perjuangannya tidak melalui upaya militer namun melalui upaya- upaya politik, serta adanya gagasan tentang partai politik untuk berpartisipasi dalam pemilu yang demokratis.
Perjalanan damai tak semulus impian. Pada bulan April “gonjang- ganjing” muncul lagi, dimana kedua pihak mulai tidak sepaham dan saling menyalahkan satu sama lainnya. Situasi makin memanas saat salah seorang anggota tim monitoring di Aceh Selatan dan supirnya beserta seorang pengacara dan aktifis LSM pada tanggal 29 Maret 2001. Isu penting lainnya adalah dihentikannya operasional PT Arun oleh karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan. Yang saya pelajari dalam penyelesaian suatu konflik bersenjata adalah sulitnya membangun saling kepercayaan antar para pihak. Terkadang saat kepercayaan telah terbangun dapat dirusak oleh suatu peristiwa dan kepercayaan yang runtuh itu harus dibangun lagi dengan susah payah dan butuh waktu yang tidak singkat.
April 2001 adalah masa- masa yang sulit bagi proses damai Aceh. Ini ditandai dengan “kembalinya” sikap pemerintah RI yang menggunakan upaya- upaya militer dalam menyelesaikan konflik. Namun upaya- upaya kekerasan dalam kurun waktu beberapa bulan ini justru memperparah konflik yang mengkibatkan ratusan warga sipil tewas, ratusan rumah terbakar, jumlah pengungsi meningkat, pemerasan, hingga kontak senjata yang makin marak.
Dalam periode ini pula para juru runding GAM ditangkap oleh pihak pemerintah di Hotel Kuala Tripa Banda Aceh. Saya ingat hari itu Jum’at di bulan Juli. Beberapa aparat lalu lalang melewati kantor atau ruangan kami, sebelum menangkap para juru runding. Beberapa dari mereka sempat bertanya- tanya kepada kami. Namun, posisi unit informasi publik yang tidak memihak salah satu pihak atau netral menjadikan para stafnya “untuk sementara” aman.
Kondisi psikologi para staf sempat “shock” dengan penangkapan tersebut. Dan pada tanggal 15 Agustus 2001, saya didatangai bos HDC saat itu David Gorman, dia menawarkan tepatnya meminta saya untuk menggantikan posisi manejer unit informasi publik setelah bos saya sebelumnya mengundurkan diri. Tentu, karena merasa masih muda (25 tahun) dan belum berpengalaman saya menolak tawaran sang bos. Tapi entah jurus apa yang digunakan pria berkebangsaan Amerika Serikat tersebut, dia berhasil meyakinkan saya dan akhirnya saya tertantang untuk menerima tawaran tersebut, dengan syarat dia dan kawan- kawan akan membantu dan mendukung saya. Kesannya sederhana, tapi karena situasi proses dialog yang tak jelas nasibnya membuat “tantangan” ini menjadi menarik. I love challenge.
HDC masih tidak menyerah dan melanjutkan proses damai ini. Beberapa pertemuan juga diadakan dan dengan “inovasi” misalnya menghadirkan para tokoh wise men, seperti Surin Pitsuwan (mantan menteri luar negeri Thailand), Tan Sri Musa, Budimir Loncar (mantan menteri luar negeri Yugoslavia, serta seorang jenderal bintang empat Amerika, Anthony Zinni.
Yang paling fenomenal dari perundingan yang difasilitasi oleh HDC adalah disepakatinya gencatan senjatan atau Cessation of Hostilities Agreement atau lebih dikenal dengan COHA, yang ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2003 bertempat di kantor HDC, Swiss. Harapan damai Aceh hadir lagi setelah kesepakatan ini ditandatangani. Saya masih ingat bagaimana meriahnya suasana malam tahun baru 2003 di Banda Aceh, dimana masyarakat sudah berani beraktifitas pada hingga larut malam. Peristiwa hingar- bingar malam hari hampir tak dapat kita temui saat suasana konflik. COHA berakhir sama seperti pendahulunya, diawali dengan gagalnya perundingan Tokyo, Jepang. COHA secara “resmi” berakhir dengan diberlakukannya darurat militer 19 Mei 2003 oleh pemerintah RI, di bawah presiden Megawati Soekarnoputri.
Sejak saat itu, proses damai Aceh melalui cara dialog tanpa senjata mati suri. Akhirnya 15 Agustus 2005, pemerintah RI dan GAM menandatangani kesepahaman damai di Helsinki, Finlandia. HDC tidak lagi menjadi fasilitator perdamaian pada perjanjian ini.
Banda Aceh, 12 Mei 2015