Alkisah, hiduplah seorang dokter di sebuah negeri antah berantah, namun sering terjadi berbagai musibah. Sang dokter itu panggilannya adalah satu-satunya dokter di negari tersebut yang ditemani seorang mantri. Awalnya si mantri adalah sohib kentalnya, namun entah apa yan merasuki sehingga sang mantri ingin menggantikan posisi dokter itu. Ilmu & pengalamannya tak cukup, tapi nafsunya yang ingin menjadi dokter pengganti membuatnya siap melakukan apa saja.
Suatu hari datanglah seorang pasien kaya raya, namun menderita sakit parah yang belum ada penangkalnya. 29 tahun ia, mengalami sakit dan 10 tahun terakhir ia lumpuh tak bisa bergerak. Herannya tak ada yang tahu ia sakit apa. Hingga ia mendengar tentang dokter satu-satunya itu, lalu mencoba berobat padanya.
Dokter yang merasa sudah pengalaman itu tanpa memeriksa langsung memutuskan bahwa si pasien sakit busung lapar. Padahal si pasien adalah orang kaya, tapi pak dokter sangat yakin bahwa pasiennya,menderita penyakit tersebut. Pasien pun pasrah, yang penting ia segera sembuh pikirnya. Ia menelan semua obat yang diresepi padanya.
Hari, minggu, bulan berlalu. Si pasien belum sembuh jua. Ia kembali ke dokter untuk berobat lagi. Pak dokter lalu merevisi vonisnya. Ia menyimpulkan pasien ini sakit jantung. Lagi2 pasien percaya, lantas melahap semua obat yang diberikan padanya.
Waktu terus berlalu namun si sakit belum pulih. Ia kembali lagi, kali ini dokter memvonisnya sakit maag akut. Ia percaya dan (lagi) tanpa ragu menghabiskan obat yang diberikan pak dokter.
Bulan depan pasien kembali & mengeluh mengapa ia tak kunjung sembuh. Sang asisten yang tanpa ilmu mencoba memberi nasehat, "Ini penyakit jahanam" katanya kepada dokter. Dokter percaya, lalu pasien diberi obat namanya "Kapsul Jahanamex". Bodohnya si pasien masih percaya dan melahap obat tersebut.
Minggu depan ia kembali & mengadu kepada dokter bahwa ia masih sakit. Kali ini giliran pak dokter yang mulai hilang logikanya. "Ini pasti sakit Pungo (gila)". Jadi harus dikasih obat yg lebih gila, kata dokter.
Gara-gara disebut 'pungo' keluarga pasien mulai hilang kesabaran & mencoba mencari obat pada seorang tabib terkenal. Vonis sang tabib si pasien menderita penyakit Sesat. Namun, keluarga pasien mulai tidak sabar menganggap sang tabib "Lebaydotcom."
Entah kenapa si pasien masih tetap percaya pada sang dokter, walaupun segala jenis obat dan ramuan telah dikonsumsinya, mulai dari obat sakit perut hingga obat gila.
Tahun berlalu, tepatnya tahun ke-5 ia berobat pada dokter itu, ia bertekad semoga ini kunjungannya yg terakhir kali. Lagi2, dengan penuh percaya diri, tanpa melakukan pemeriksaan darah, dll, pak dokter akhirnya memutuskan,
"Jeehh, rupanya Anda sakit Panu" ujarnya dengan nada riang.
***Banda Aceh, 16/11/2015
Monday, November 16, 2015
Friday, September 11, 2015
“Maafkan Saya”
Pagi tadi tepatnya. Sesampai di ruangan saya di kampus saya mendapati sebuah surat, ternyata dari seorang mahasiswi. Sebagai dosen perwalian atau pembimbing akademik ini adalah masa- masa saya perlu tandatangan KHS atau KRS mahasiswa. Itu hal rutin yang saya temui dalam beberapa hari ini. Tapi surat pagi ini jauh berbeda. Dan setelah kurang lebih dua tahun saya menjadi dosen wali, baru hari ini saya mendapati sebuah surat dalam bentuk form resmi lembaga. Surat itu ternyata permohonan untuk non- aktif atau cuti kuliah. Ah, bercanda dia, pikir saya.
Penasaran saya telpon dia untuk tanya apa betul permohonan itu dibuat dengan penuh kesadaran? Kesadaran untuk cuti kuliah sementara. Saya tanya alasannya. Agak sulit baginya menemukan kata yang tepat. Tapi, beberapa kali dia mengucapkan kata “kurang”, yang kemudian saya simpulkan bahwa dia berhenti kuliah sementara karena kekurangan biaya. Tidak biaya untuk kuliah. Kesimpulan ini diperkuat setelah saya bertanya dengan dosen lain yang katanya sempat berbicara dengan mahasiswi ini, bahwa memang dia atau keluarganya lagi kekurangan biaya.
Lama saya tercenung, dan berfikir, setengah tidak percaya. Beberapa saat kemudian saya telpon dia kembali untuk memastikan sebelum saya memberi tandatangan. Kali ini jawabannya lebih jelas, memang keluarganya lagi membutuhkan biaya untuk keperluan lain yang lebih mendesak, dan dia harus merelakan dirinya untuk tidak kuliah sementara waktu. “Saya mau cari- cari kerja dulu Pak”ia menegaskan.
Dada saya bergemuruh. Peristiwa ini mengingatkan saya pada seorang teman lama, belasan tahun lalu, saat kami kuliah S1 dia harus berhenti kuliah karena tidak ada biaya. Kali ini, seorang mahasiswi tidak harus berhenti (entah sampai kapan) karena ia tidak mampu menyediakan SPP satu juta lebih itu.
Entah kenapa saya malu kepadanya. Saya ingat dalam kelas Ekonomi Makro saya bercerita tentang betapa besarnya dana yang dikelola oleh pemerintah Aceh. Saya bilang untuk tahun 2015 ini saja pemerintah Aceh mengelola dana lebih 12 triliun. Saya berandai- andai di kelas, kalo uang 12 triliun itu dibagi- bagi aja ke orang semua orang Aceh, maka masing- masing orang akan dapat 2 juta lebih. Atau saya juga sering becanda jika uang sebanyak itu dibeliin kopi, maka bisa tengglem kota Banda Aceh oleh kopi. Kita bangsa yang kaya papar saya dengan penuh semangat.
Saya juga bilang kalo tidak kurang dari 42 triliun, ya 42 triliun dana otonomi khusus yang mengucur ke Aceh. Bayangkan uang sebanyak itu. Lalu saya tanya kepada mahasiswa, siapa yang pernah lihat uang sebanyak itu dalam bentuk fisik. Jujur saya sampaikan mereka bahwa saya sendiri belum pernah melihat uang segitu banyaknya.
Memang di sesi lain kami berbicara tentang angka kemiskinan di Aceh yang sering jadi juara, dan di atas rata- rata nasional. Angka pengangguran tinggi, kesehatan bayi yang mengkhawatirkan, masalah narkoba, dan angka- angka statistik “mengerikan” lainnya.
Tapi hari ini saya mendapati angka- angka statistik dalam bentuk persentase dan rata- rata itu hadir dihadapan saya. Angka statistik itu berwujud dalam bentuk seorang mahasiswi yang tak mampu membayar SPP nya.
Andai saya bisa meminta kepada pemerintah untuk menolong satu orang mahasiswi ini. Caranya cukup sederhana. Beberapa hari ini saya sering melihat iklan advertorial atau pariwara versi pemerintah Aceh yang menceritakan tentang kesuksesan mereka, kehebatan mereka, kegemilangan mereka dalam membangun Aceh. Ya, karena dalam bentuk iklan pastilah harus berbayar. Karena tampil di halaman 1 depan, tentunya biayanya sangat mahal. Andai saja, 1 kali slot iklan di koran itu disumbangkan ke mahasiswi saya, saya yakin masalahnya bisa tuntas, walau untuk sementara.
Saya yakin uang SPP seorang mahasisa di kampus saya hanyalah "peng griek" uang receh buat penguasa dan pejabat yang selama ini katanya selalu memikirkan nasib rakyat siang dan malam. Atau mungkin ada beasiswa yang memang ditujukan kepada mahasiswa- mahasiswa seperti ini. Ya, beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu melanjutkan kuliahnya.
Akhrinya saya sebagai dosen walinya merasa malu dan berdosa karena tidak bisa berbuat apa- apa untuk membantunya. Saya mau minta maaf kepadanya karena saya mungkin lebih disibukkan dengan urusan penelitian, mengajar, dan urusan- urusan lainnya yang membuat masalah seperti ini seolah berlalu begitu saja. Semoga dia bisa memaafkan saya sebagai dosennya.
*Banda Aceh, 11 September 2015
Tuesday, May 12, 2015
Catatan Kecil Damai Aceh
Hari ini 15 tahun lalu, 12 Mei 2000, pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati perjanjian perdamaian pertama yang ditandatangani di Bavois, Swiss. Ini adalah sejarah pertama dimana pemerintah RI dan GAM duduk bersama untuk berbicara dalam bahasa damai bukan bahasa senjata. Kesepahaman yang lebih dikenal dengan Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh atau sering disebut dengan “Jeda Kemanusiaan” ditandatangani oleh Hassan Wirajudha (sempat menjadi menteri luar negeri RI) mewakili pihak pemerintah dan dr. Zaini Abdullah (gubernur Aceh sekarang), mewakili GAM yang difasilitasi oleh lembaga internasional HDC (Centre for Humanitarian Dialogue) yang juga bermarkas di Swiss. Kesepahaman bersama menyepakati penghentian pertempuran selama tiga bulan, yang dibarengi oleh bantuan kemanusiaan untuk Aceh, dibentuknya modalitas keamananan untuk bantuan kemanusiaan dan yang paling penting adalah membangun kepercayaan antara keduabelah pihak yang sedang bertikai. Saya bersyukur, setidaknya pernah berperan dalam proses perdamaian ini melalui Unit Informasi Publik, yang bertugas mensosialisasikan segala kesepahaman dan proses perdamaian yang sedang berlangsung, sejak Desember 2000.
Jeda Kemanusiaan tidak lahir begitu saja, karena inisiasi pentingnya suatu dialog damai untuk menyelesaikan konflik bersenjata melalui meja perundingan sudah diinisiasi sejak tahun 1999 di era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ada beberapa pertemuan saat itu baik yang dilakukan di beberapa tempat di Aceh yang juga melibatkan pemimpin GAM di lapangan.
Bekerja di bagian informasi publik, atau ada yang bilang public relation suatu proses perdamaian adalah hal yang baru buat saya. “Dunia” politik dan konflik adalah dunia yang masih baru bagi saya yang fresh graduate dari fakultas ekonomi. Untung saat mahasiswa saya sempat aktif di pers kampus, dan sempat meliput beberapa peristiwa tentang konflik dan tragedi kemanusiaan di Aceh, jadi sedikitnya sudah paham tentang dinamika konflik yang terjadi di Aceh. Pada unit ini saya mulai berkenalan dan rajin berdiskusi dengan para jurnalis, aktifis NGO, pekerja kemanusiaan baik lokal maupun internasional. Setelah tiga bulan berlakunya Jeda Kemanusia, para pihak pada pertemuan di bulan September 2000 menyadari pentingnya untuk melanjutkan kesepahaman ini dalam upaya mencapai solusi damai konflik.
Pada tahun 2001, sejak bulan Januari hingga April pertemuan dan diskusi masih berlangsung dan masih difasilitasi oleh HDC. Beberapa nama pakar, tokoh mulai dilibatkan seperti William Ury, Hurst Hanum, Erick Avebury, dll. Tahun ini Jeda Kemanusiaan berakhir, menyepakati pengaturan keamanan baru, serta satu bulan moratorium kekerasan yang ditandai dengan adanya pertemuan para komandan lapangan di Banda Aceh.
Setelah moratorium kekerasan, pihak RI dan GAM menyepakati fase baru yang dikenal dengan “Damai Melalui Dialog” (Peace Through Dialogue), yang pada intinya para pihak masih sepakat bahwa perdamaian di Aceh harus ditempuh dengan cara- cara dialog dan damai. Era, ini menarik karena pihak GAM mulai mempertimbangkan perjuangannya tidak melalui upaya militer namun melalui upaya- upaya politik, serta adanya gagasan tentang partai politik untuk berpartisipasi dalam pemilu yang demokratis.
Perjalanan damai tak semulus impian. Pada bulan April “gonjang- ganjing” muncul lagi, dimana kedua pihak mulai tidak sepaham dan saling menyalahkan satu sama lainnya. Situasi makin memanas saat salah seorang anggota tim monitoring di Aceh Selatan dan supirnya beserta seorang pengacara dan aktifis LSM pada tanggal 29 Maret 2001. Isu penting lainnya adalah dihentikannya operasional PT Arun oleh karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan. Yang saya pelajari dalam penyelesaian suatu konflik bersenjata adalah sulitnya membangun saling kepercayaan antar para pihak. Terkadang saat kepercayaan telah terbangun dapat dirusak oleh suatu peristiwa dan kepercayaan yang runtuh itu harus dibangun lagi dengan susah payah dan butuh waktu yang tidak singkat.
April 2001 adalah masa- masa yang sulit bagi proses damai Aceh. Ini ditandai dengan “kembalinya” sikap pemerintah RI yang menggunakan upaya- upaya militer dalam menyelesaikan konflik. Namun upaya- upaya kekerasan dalam kurun waktu beberapa bulan ini justru memperparah konflik yang mengkibatkan ratusan warga sipil tewas, ratusan rumah terbakar, jumlah pengungsi meningkat, pemerasan, hingga kontak senjata yang makin marak.
Dalam periode ini pula para juru runding GAM ditangkap oleh pihak pemerintah di Hotel Kuala Tripa Banda Aceh. Saya ingat hari itu Jum’at di bulan Juli. Beberapa aparat lalu lalang melewati kantor atau ruangan kami, sebelum menangkap para juru runding. Beberapa dari mereka sempat bertanya- tanya kepada kami. Namun, posisi unit informasi publik yang tidak memihak salah satu pihak atau netral menjadikan para stafnya “untuk sementara” aman.
Kondisi psikologi para staf sempat “shock” dengan penangkapan tersebut. Dan pada tanggal 15 Agustus 2001, saya didatangai bos HDC saat itu David Gorman, dia menawarkan tepatnya meminta saya untuk menggantikan posisi manejer unit informasi publik setelah bos saya sebelumnya mengundurkan diri. Tentu, karena merasa masih muda (25 tahun) dan belum berpengalaman saya menolak tawaran sang bos. Tapi entah jurus apa yang digunakan pria berkebangsaan Amerika Serikat tersebut, dia berhasil meyakinkan saya dan akhirnya saya tertantang untuk menerima tawaran tersebut, dengan syarat dia dan kawan- kawan akan membantu dan mendukung saya. Kesannya sederhana, tapi karena situasi proses dialog yang tak jelas nasibnya membuat “tantangan” ini menjadi menarik. I love challenge.
HDC masih tidak menyerah dan melanjutkan proses damai ini. Beberapa pertemuan juga diadakan dan dengan “inovasi” misalnya menghadirkan para tokoh wise men, seperti Surin Pitsuwan (mantan menteri luar negeri Thailand), Tan Sri Musa, Budimir Loncar (mantan menteri luar negeri Yugoslavia, serta seorang jenderal bintang empat Amerika, Anthony Zinni.
Yang paling fenomenal dari perundingan yang difasilitasi oleh HDC adalah disepakatinya gencatan senjatan atau Cessation of Hostilities Agreement atau lebih dikenal dengan COHA, yang ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2003 bertempat di kantor HDC, Swiss. Harapan damai Aceh hadir lagi setelah kesepakatan ini ditandatangani. Saya masih ingat bagaimana meriahnya suasana malam tahun baru 2003 di Banda Aceh, dimana masyarakat sudah berani beraktifitas pada hingga larut malam. Peristiwa hingar- bingar malam hari hampir tak dapat kita temui saat suasana konflik. COHA berakhir sama seperti pendahulunya, diawali dengan gagalnya perundingan Tokyo, Jepang. COHA secara “resmi” berakhir dengan diberlakukannya darurat militer 19 Mei 2003 oleh pemerintah RI, di bawah presiden Megawati Soekarnoputri.
Sejak saat itu, proses damai Aceh melalui cara dialog tanpa senjata mati suri. Akhirnya 15 Agustus 2005, pemerintah RI dan GAM menandatangani kesepahaman damai di Helsinki, Finlandia. HDC tidak lagi menjadi fasilitator perdamaian pada perjanjian ini.
Banda Aceh, 12 Mei 2015
Saturday, April 11, 2015
Ekonomi Dalam Sepotong Suree (Sureenomics Vol.2)
“Padup eungkot suree nyoe bang?” tanya
saya kepada seorang penjual ikan di pasar Peunayong, Banda Aceh, sambil
menunjuk ke salah satu ikan suree
yang lumayan besar. Suree yaitu ikan
tongkol, atau tuna, yang di Aceh dikenal memiliki jenis tongkol sisik (tuna)
dan yang bukan sisik (tongkol biasa), dan bagi tongkol yang sering ikut fitness alias berbadan lebih besar dari rata- rata (raksasa), maka ia cukup dipanggil
dengan “Pa’ak” saja, bukan tongkol
raksasa. Gak fair memang, tongkol
segede itu dipanggil hanya dengan satu kata. Tapi itulah dinamika dunia
pertongkolan, yang tak perlu kita bahas di sini.
“75 ribee” jawab si abang singkat.
Biasanya tuna sebesar itu saya beli sekitar 60 ribu, paling
mahal 65 ribu. Tapi hari ini dia mencapai angka 75 ribu perak. Saya tanya suree
lain yang lebih kecil juga mengalami kenaikan. Jika dikalkulasi secara, maka
rata- rata kenaikan suree berada pada kisaran 10-15 ribu per ekor.
“Kok mahal kali bang?” Pura- pura tidak tahu (padahal tidak
tahu), saya tanyakan kenapa suree naik harga. Pertanyaan yang sama saya tujukan
kepada 3 penjual yang berbeda, berikut jawabannya.
Penjual 1: “BBM kan udah naik Bang”, jawabnya singkat
Penjual 2: “Modalnya memang mahal Bang”, maksudnya modal
saat ia beli ikan di TPI.
Penjual 3: Dia hanya terdiam, sambil menatap saya dengan
agak sinis lalu pura- pura sibuk merapikan dagangannya. Mungkin dia berujar
dalam hati “Where the hell have you been?
Dari ketiga penjual itu, saya rasa jawaban penjual 1 dan 2
saling berkorelasi dan menjawab pertanyaan saya tadi. Faktor BBM naik
mengakibatkan harga barang- barang lain ikutan naik. BBM jenis solar adalah
bahan bakar utama nelayan ke laut. Hingga saat ini belum ada satupun teknologi
yang bisa mengubah air laut menjadi solar, atau minimal pengganti solar untuk
menjalankan mesin boat dan kapal. (Mungkin hanya batu akik jenis gioklah yang
mampu melakukannya. Liat aja sekarang udah banyak dijual batu giok dengan jenis
solar hingga bio solar #eh. )
Dampak Kenaikan BBM,
Dari Urusan Perut hingga Krisis Negara
Merujuk data BPS (ini bukan Badan Pusat Suree, tapi Badan
Pusat Statistik), pada bulan Januari 2015 inflasi di kota Banda Aceh sebesar
0,10 persen, yang disumbangkan oleh pangan yang bergejolak atau volatile foods, dan ternyata ikan segar
ikut berkontribusi secara aktif. Saya menduga ikan segar yang dimaksudkan oleh
BPS ini adalah si suree, ya, suree yang sedang kita bahas ini. Walaupun
kemudian bulan Februari dan Maret di kota ini terjadi deflasi, namun
(lagi-lagi) saya memprediksi bahwa akan terjadi inflasi pada bulan April ini.
Salah satu penyumbangnya, ya itu... suree.
Selain berkontribusi dalam inflasi, suree telah terbukti
menjadi ikon terpenting dalam kuliner Aceh. Ada berbagai varian yang dapat
membuat sepotong suree memiliki nilai tambah tinggi. Mulai dari keumamah, tumis, goreng, lado, asam keueng, hingga yang paling simpel
suree rebus. Sayangnya belum ada catatan dan resep rendang suree, jika ada maka rendang daging khas minang bisa tersaingi.
Begitu banyaknya kontribusi ikan suree dalam perkulineran
Aceh juga dapat dilihat dari sajian baik di rumah tangga, rumah makan hingga
kenduri. Coba cek, dimana rumah makan di Aceh yang gak jual menu suree? Jika
ada yang tak jual, bisa jadi itu bukan rumah makan, tapi KFC.
Saat kenduri sekalipun, menu suree dapat dipastikan selalu
ada menjadi hidangan di meja prasmanan. Boleh dibilang ikan suree adalah jenis
ikan yang dapat diolah lebih banyak daripada jenis ikan- ikan lain.
Lantas jika suree mengalami inflasi, harganya kian meninggi,
maka apa yang akan terjadi? Saya mencoba menganalisis beberapa potensi kerugian
negara dan masyarakat oleh karena mahalnya suree.
Gambar 1. Dampak Suree Mahal.
Jika suree mahal, maka harga nasi bungkus atau makanan berbahan suree juga otomatis akan mahal. Walaupun judulnya “nasi bungkus”, tapi siapa yang mau makan tanpa ada sepotong ikan di nasinya. Jika harga nasi bungkus mahal maka para pekerja harus mengeluarkan uang lebih atau di sisi lain dengan terpaksa harus mengurangi porsi makan, khususnya ikan. Oleh karena ikan mengandung protein dan nutrisi yang tinggi, maka kekurangan zat ini bisa mengakibatkan seseorang kekurangan gizi (dampak kesehatan).
Disaat seseorang mengeluarkan uang lebih untuk sektor
konsumsi, tentunya ia harus menambah sektor produksi yang lain agar ada uang
tambahan untuk mencukupi gizi makanannya. Ada beberapa cara dapat dilakukan,
bagi yang ada usaha atau bisnis sampingan dia akan dengan mudah menghasilkan
uang lebih, tapi konsekuensinya waktunya bekerja di tempat sebelumnya akan
tersita.
Tapi itu belum seberapa, jika dibandingkan dampak lain yaitu
korupsi. Ya, siapa yang tahu bisa jadi hanya karena ikan mahal, nasi bungkus
layak tak terjangkau maka seseorang melakukan penyelewengan seperti korupsi,
atau mungkin tidak kejahatan lain bertujuan yaitu: memenuhi hasrat kulinernya
dibidang suree. Kemungkinan yang lebih parah adalah potensi konflik bakal
terjadi, atau pemberontakan dengan visi kemerdekaan dalam mengkonsumsi suree.
Potensi konflik, pemberontakan ini tentunya akan sangat berbahaya karena akan
menimbulkan masalah disintegrasi bangsa. Apa kata dunia jika hanya karena suree
kita menuntut merdeka dari republik ini.
Kesimpulan dari semua masalah kenaikan harga suree ini akhirnya
bermuara pada krisis multi sektor dan negara kita akan mengalami chaos dan kehancuran,
seperti yang kita lihat di beberapa negara balkan hingga timur tengah. Kita
berharap masalah suree ini tidak lantas menginspirasi beberapa kelompok anarkis
untuk membentuk suatu organisasi garis keras dengan nama Gerakan Suree Merdeka (GSM).
Tugas
kita adalah untuk mengingatkan pemerintah pusat agar tidak semena- mena
menaikkan harga BBM yang memicu pada kenaikan harga suree.
Dan presiden Jokowi
harus tahu ini.
*Banda Aceh, April 2015
Friday, March 20, 2015
Happy Birthday to You in Heaven #mysarah
If she were still here, today is her birthday. But I always love & pray for her everyday #mysarah
Dear God, do they celebrate birthday in heaven? Although they don't please send my birthday greeting and tell her that i miss her so much #mysarah
I wish i could see her in my dream tonight #mysarah
Banda Aceh, March 20, 2015
Wednesday, March 18, 2015
Menunggu Bank “London” Syariah di Aceh?
5 Februari 2015
Ingatan saya melayang pada suatu diskusi terbatas yang diadakan oleh instansi pemerintah dan dihadiri oleh belasan tokoh mewakili perbankan, aktivis LSM, akademisi, pengusaha dan tokoh masyarakat. Ada satu pertanyaan dari peserta diskusi yang terkesan sederhana namun penting dan kemudian dijawab oleh peserta lain secara santai namun mengena.
Pertanyaan saat itu adalah, “Mengapa kita harus menjalankan
sistem ekonomi syariah atau Islam?”.
Jawabannya “Ya, karena kita kan orang Islam, tentunya harus patuh pada apa yang diatur oleh
Islam”.
Menurut saya, jawaban singkat namun padat itu sudah cukup
menjadi argumen kuat mengapa sistem ekonomi Islam menjadi sangat penting dan
perlu diaplikasikan oleh kita umat Islam.
Sementara nun jauh disana, di bumi belahan Eropa, Perdana
Menteri Inggris David Cameron dihadapan seribuan delegasi pada forum ekonomi
Islam dunia, World Islamic Economic Forum
(WIEF) ke 9 di London yang saya
kutip dari www.economist.com berkata,
“Saya ingin London dapat berdiri berdampingan dengan Dubai sebagai salah satu ibu
kota keuangan Islam terbesar berbagai negara di dunia”. Pernyataan itu
disampaikan pada bulan 2 tahun lalu, tepatnya tanggal 29 Oktober 2013, di
London, ibukota Inggris. Ini adalah WIEF pertama kali yang diselenggarakan di
luar negara- negara Islam.
Menurut saya Cameron sangat sadar pentingnya sistem ekonomi
dan keuangan Islam serta peranannya dalam perekonomian dunia, lantas ia pun
memiliki mimpi agar negaranya mampu menyaingi negara- negara Islam dalam
tatanan keuangan Islam dunia. Dan kita tahu Mister Cameron bukanlah seorang
muslim.
Dua kisah di atas mungkin bisa menjawab urgensi penerapan
sistem ekonomi syariah atau Islam, beserta turunannya berupa keuangan syariah,
hingga perbankan syariah. Yang pertama adalah karena masalah substansial yaitu
kita sebagai umat Islam yang wajib menjalankan ajarannya secara kaffah, dan yang kedua adalah masalah “pasar”
atau konsumen keuangan syariah. Disini saya sekadar ingin berbagi tentang yang
kedua, yaitu mengenai aspek pasar dalam praktik keuangan atau perbankan
syariah.
Pertumbuhan
Signifikan
Jika boleh mengutip World
Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014, atau laporan Persaingan
Bank Syariah Dunia, yang memaparkan
bahwa Indonesia bersama lima negara Islam lainnya mengalami pertumbuhan pasar
perbankan syariah secara signifikan. Kita bersama bersama Qatar, Saudi Arabia,
Malaysia, UEA dan Turki yang disingkat dengan QISMUT merupakan negara yang
dianggap cukup penting karena tergolong ke dalam negara yang memiliki
pertumbuhan pasar yang tinggi, atau dikenal dengan Rapid-Growth Market (RGM). Untuk masuk ke dalam RGM negara tersebut
harus memenuhi kriteria diantaranya terbukti memiliki pertumbuhan yang tinggi
serta potensinya, skala ekonomi dan jumlah populasi, dan kepentingan strategis
untuk bisnis. QISMUT menjadi kelompok negara yang sangat penting bagi
internasionalisasi industri perbankan Islam karena aset di enam negara ini
berjumlah 78 persen dari seluruh perbankan syariah di dunia. Sementara total
aset perbankan syariah di dunia mencapai US$1,7 Triliun, artinya QISMUT
mendominasi total aset perbankan syariah dunia saat ini. Dan yang paling
penting adalah bergairahnya perekonomian negara- negara ini serta pertumbuhan
nasabah atau pasar untuk layanan keuangan yang tinggi menjadikan Indonesia
sebagai prospek yang menarik bagi bank lain untuk memperbesar keuntungannya.
Fenomena bergairahnya keuangan dan bank syariah makin
dilirik tidak hanya oleh negara- negara muslim namun juga negara- negara
non-muslim di benua Eropa dan Amerika. Beberapa kajian juga sempat memaparkan bagaimana
sistem keuangan syariah ternyata lebih tahan dalam menghadapi krisis ekonomi
seperti yang terjadi di Eropa.
Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim
terbesar di dunia sadar akan hal itu. Tapi mungkin agak berbeda dengan provinsi
Aceh yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam plus diperkuat dengan adanya
regulasi penerapan syariat Islam. Pemerintah Aceh belum sadar akan keunggulan
sistem keuangan atau perbankan Islam atau mungkin pura- pura tidak sadar. Saya
berkesimpulan seperti itu setelah melihat
dinamika tarik-ulur rencana pembentukan PT Bank Aceh Syariah (BAS).
Sejak tahun lalu saat draft rancangan qanun bank syariah
sudah dibahas di gedung parlemen, lalu muncul wacana menarik kembali draft
tersebut. Publik pun bereaksi. Ulama hingga akademisi unjuk suara melalui media
massa menyayangkan keputusan tersebut dan hasilnya gubernur membatalkan niat
tersebut. Alhasil di penghujung jabatan DPRA periode lalu draft qanun tersebut
disahkan.
“Spin Off” Lebih
Cocok
Pro-kontra tentang bank Aceh syariah berisikan tentang
mekanisme yang harus ditentukan, pilih konversi atau spin off (pemisahan). Beberapa pakar perbankan berkomentar bahwa spin off lebih cocok karena dianggap
relatif lebih aman. Lalu, diawal tahun 2015 disaat pemerintah sedang membahas
RAPBA, muncul lagi tarik-ulur pendirian bank ini muncul lagi, kali ini
berkaitan dengan besarnya penyertaan modal yang harus disetor pemerintah.
Wajar muncul pertanyaan mengapa rencana pembentukan BAS
seperti “bermain layang-layang”, ditarik, lalu diulur tergantung angin. Atau
ada masalah substansial apa yang membuat pemerintah Aceh ragu, yang kemudian
memicu polemik di ruang publik. Dari beberapa informasi yang saya peroleh salah
satu hal faktor krusial adalah karena ketidaksiapan internal atau pihak Bank
Aceh sendiri.
Saat spin off
menjadi pilihan maka ada sejumlah regulasi ketat yang harus dilalui, dan
berbagai pra-syarat yang harus dipenuhi. Saya menduga pihak bank Aceh
konvensional cenderung tidak siap dan takut bersaing “adik kandungnya” yang
sedang ditunggu- tunggu oleh pasar. Ketakutan inilah yang kemudian diolah
redaksinya agar terdengar lebih lembut ke telinga pembuat kebijakan.
Sebenarnya kehadiran BAS bukan hanya mampu mengusung sistem
keuangan syariah tapi juga mampu mengoptimalkan pasar yang ada. Bukan hal
mustahil dengan besarnya besarnya potensi pasar disini membuat bank- bank
syariah lain berlomba- lomba beroperasi di Aceh, bahkan bank luar negeri
sekalipun. Saya berandai- andai jika pemerintah Aceh tak serius mendirikan BAS,
mungkin suatu saat nanti akan hadir Bank “London” Syariah di Aceh, mengingat
betapa menggiurkannya pasar syariah saat ini seperti yang diutarakan oleh
Perdana Menteri Gordon. Tanpa ada suatu brand
lokal, takutnya nanti kita akan berkata (lagi) “Buya krueng teu dong- dong, buya tamong meuraseuki”.
*Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
(Tulisan ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, pada hari Kamis, 5 Februari 2015)
Subscribe to:
Posts (Atom)