Tuesday, November 12, 2013

Kee/Qe

...Sambungin
BAGIAN 3

Kee/Qe


4
"Omen, mantap kali Kee"
"Udah makan Kee?"
"Jangan sok lah Kee!"
"Kee kemana aja?"
"Enak kali Kee"

Dan lain-lain, dan seterusnya, dan sebagainya. Kee. Dulu saya suka menulisnya dengan "Qe", cara bacanya persis seperti baca huruf "E" pada Tempe, Toge, atau Sate. Bukan "E" pada Jengkol, Belok, atau Bebek. Kee itu sama dengan Loe/Lu buat anak Jakarta, Kau di Medan, atau Kamu dalam bahasa Indonesia baku.

Anak Aceh,wa bil khusus Banda Aceh memang selalu punya gaya sendiri. Terkadang Kee juga diganti dengan Ko, dari kata Kau. Misal, "Enak kali Ko". Tapi penggunaan kata Ko cenderung agak kasar, dan gak cocok digunakan untuk orang yang lebih tua. Seolah ada nada intimidasi disana. Ada relasi dominasi antar satu ke yang lain. Ada jurang pemisah antara bos dan anak buah.Tapi, kadang Ko bisa juga untuk menunjukkan bahwa hubungan perkawanan itu sudah sudah sangat dekat. Hanya dengan kawan-kawan tertentu Ko bisa dipake. Jangan sampe gunakan untuk memanggil guru. "Mana aja Ko Pak?" Dijamin, abis manggil gitu kita digampar atau dipecat, karena tidak sopan, walaupun pengucapannya dengan nada paling lembut sekalipun.

Kee hadir secara egaliter. Dia mengakui persamaan derajat, tidak ada perbedaan agama,atau ideologi dalam kata Kee. Kee itu asik.

Tapi jangan pake Kee di Jakarta, walaupun huruf "A" disana sering dibaca "E". Misalnya Jakarta, Gile, Ye. Seperti juga disarankan untuk tidak memanggil kawan-kawan di Aceh dengan sebutan "Pa kabar Lu?". Siap-siap aja dipanggil Sok Jakarta, atau Sok Paten. Eiya, teringat waktu kuliah ada teman baru beberapa hari di Jakarta, trus pulang-pulangnya udah pake logat.

"Cui, gile lu, mane aje. Gue nyari-nyari lue" sapa seorang kawan itu seolah-olah telah tak bersua 5 tahun lamanya.

Tiba-tiba, seorang kawan yang nyerocos, dalam bahasa Aceh,

"Toh eek bak bineeh krueng, sok pake Lue, Gue" (Beol aja masih di sungai, sok pake Lue, Gue)

Kami pun tertawa, tak ada yang marah. Tak boleh marah karena kita kawan, kalo ada yang marah-marah, silakan berbaikan lagi. Gak enak marah-marah, abis energi, abis waktu. 

Setauku belum ada satu buku bahasa atau buku sejarah yang menulis awal penggunaan kata Kee. Di kamus apalagi. Kapan penggunaannya? Siapa penemunya? Kalo penemunya masih ada dimana alamatnya? Minimal apa akun twitternya dan Facebooknya? Kalo dia sudah tak ada, dimana kuburnya? Jadi teringat lagu lama.

Udah dulu ah tentang Kee.

5
Kita cerita yang lain aja. Apa ya?

Aha, aku lagi lapar ni, cerita tentang jajanan, kuliner di SMP 1 dulu yook...! Ayookkk..

Ada bakso, lontong sayur, lontong kacang, sirup kuning ABG di gelas kecil pake es batu, kerupuk, bakwan, tahu, kue lapis, kacang, peyek, dan lain-lain, bakpau, risol, es lilin (di plastik kerempeng kayak lilin bentuknya), es agogo, dan lain-lain. Kue-kue itu harganya 100 perak. Lontong pecal gak ingat lagi berapa. Aku suka kali lontong pecal. Bakso juga suka. Nasi gurih juga asik. Semua kusuka. 

Lontong. Yang jual (panggil saja) Kak Nong. Pasti ada nama panjangnya, gak mungkin "Nong" tok. Lucu aja, pas aqiqah orang tuanya kasi nama cuma segitu. Sampe sekarang aku gak tau siapa nama asli atau gelarnya. karena itu gak penting, kita panggil dia itu aja, udah cukup. Ada lontong sayur. Variannya, lontong yaitu beras yang dibungkus daun pisang bulat segede-gede lengan anak SMP. Kalo yang segede lengan Mike Tyson itu bukan lontong namanya, tapi nasi padang. Lontong itu dipotong-potong, kalo gak dipotong susah makannya. Sayurnya sayur lodeh. Ada toco, kacang tumbuk, kerupuk, plus telor rebus. Selain lontong sayur, yang paling aku suka ya itu tadi, lontong bumbu kacang. Seperti bumbu sate Jawa. Tapi kacangnya lebih berasa. Gurih, sedikit manis.


Sewaktu kelas II, aku duduk pas di samping jendela, bangku paling belakang.  Jarakku dengan Kak Nong yang lagi jualan hanya 7 meter. Kami hanya dipisahkan oleh jendela kaca 120x60 cm. Tapi kami bisa saling menatap. Tatapanku jelas punya makna. Lapar. Apalagi saat jam-jam menjelang keluar main/istirahat. Bukan sombong, aku pernah pesan langsung dari jendela. Penasaran delivery itu seperti apa. Ternyata sekarang konsep delivery itu mulai ditiru oleh makanan fast food, bedanya mereka pake telpon. Aku tidak. Dulu waktu SMP kami belum boleh bawa telepon ke sekolah. Karena gak muat di tas, dan gak tau mau colok dimana kabelnya. Sekarang enak, udah ada HP, smartphone. Bisa bawa kemana aja, bisa pesan apa aja asal ada uang.

Suatu hari, ada dialog antar konsumen yang dianya seorang siswa cewek atau siswi dengan Kak Nong.

"Kak Nong, lontong satu, gak pedas ya" pesan siswi.

"Nih" , Kak Nong menyodorkan sepiring lontong sayur. Gak sampe 5 menit.

Siswi makan, mengunyah, tiba-tiba dia berhenti

"Kak, kok ada rambut di lontongnya ni:?" siswi protes merasa haknya sebagai konsumen untuk mendapat makanan steril diabaikan.

Kak Nong menjawab, sambil melirik selama 3 detik "Kee makan aja teros. Jangan banyak kali cing cong Kee"

Siswi: "Glek"

Begitulah, Kak Nong. Baginya penjual adalah raja, bukan pembeli. Konsep marketing tidak berlaku baginya.
Pernah suatu ketika, ada yang protes,

"Kak Nong, kok hari ini lontongnya pedas kali kok?"

"Kee, kalo gak suka gak usah beli" jawabnya ringkas, padat,tegas. 

Tak ada wacana dialogis disana pun tidak demokratis. Tapi, apa daya lontong Kak Nong is the best. Top meuketop. Betul katanya, gak suka, ya gak usah beli. Simpel kan.

Ah Kak Nong, dimana kau sekarang?

Sekonyong-konyong saya ingat bakso. Yang jualnya bukan Kak Nong, karena posisinya di belakang sekolah, dekat WC dan tempat wudhuk. Gak tau kenapa posisi WC sering berdekatan dengan tempat wudhu. Pokoknya, sejak jaman aku SMP sampe sekarang, WC dan tempat duduk masih tak terpisahkan. Dan entah kenapa pula, penjual bakso ini buka lapak di dekat WC. Ah, sudahlah, pasti itu kebijakan kepala sekolah atau pengurus sekolah.

Yang jual bakso Bang Adi. Ini aneh, karena nama mainstream penjual bakso di Banda Aceh dulu seputaran pada nama Lek Min. Lek itu dari Pak Lek, bahasa Jawa, karena mayoritas penjual bakso dari suku Jawa. Bang Adi kalo gak salah orang Jawa juga. Itu kalo gak salah ya, kalo salah, ya maaf. Dekat rumahku agak ekstrim, dari Batak, panggilannya Bang Ucok. Gak mungkinlah panggilnya Lek Ucok. Gak enak aja.

Yang harus diketahui bakso ini rasa enaknya sudah lulus dengan predikat summa cum laude. Atau enak di atas enak, Post-delicious taste. Jadi, susah dibuat scoring, karena enaknya kelewatan. Kalo standar penilaian kuliner dari 1 sampe 10, maka bisa kubilang bakso Bang Adi ini punya nilai 11. Harganya, bolehlah, masih terjangkau. Nah yang membuat skornya +1 itu adalah layanan purna jualnya. Mungkin abang yang jual ini agak keberatan. Kelebihannya adalah, kita sering minta bakso lebih.

"Bang, minta tambah baksonya dikit lah bang" pintaku saat memandangi mangkok yang tinggal kuah.

Bang Adi baik hati kasi tambah 2 bakso. Aku tersenyum.

Selang 1 menit kemudian teman-temanku mengikuti jejak langkahku

"Bang, tambah bakso juga lah bang, bagi lah bang, dikit aja bang"

Bang Adi kecut.

Yang parah, kalo lagi rame-rame yang jajan, biasanya pas jam istirahat. Bang Adi sibuk menyiapkan pesanan, fokusnya pada takaran mie, kuah di mangkok, para siswa mengrubungi Bang Adi minta duluan.

"Bang aku duluan Bang"

"Jeh, saya duluan Bang"

Teriak siswa pesan bakso. Bang Adi jadi selebritis penting saat itu. Dia dikerubungi aku dan kawan-kawan, rebutan siapa duluan.

Yang tak disadari Bang Adi, siswa yang agak lebih panjang memanfaatkan kesibukan Bang Adi, dengan mengambil bakso yang ditaro di atas gerobak dorongya. Bakso itu di baskom. Untuk siswa SMP perlu jinjit agar dapat meraihnya tanpa sepengetahuan Bang Adi pasti. Praktik itu kami namakan "sepay", alias mengambil bakso tanpa sepengetahuan penjual, atau bahasa resminya nyolong bakso.

Ah, Bang Adi maafkan aku bang, maafkan kami yang sudah sepay bakso mu. Aku sempat curiga, gak mungkin engkau gak tau perilaku itu Bang. Tapi seolah kau membiarkannya, kalopun ada yang ketahuan engkau gak pernah lapor ke polisi atau ke KPK, karena waktu itu belum ada KPK.

Mengutip lagu Slank di album pertamanya, "Maafkanlaaahhh aaakuuuu....."


*Bisajadibersambunglagi*

4 comments:

  1. kata-katanya itu khas bgt
    walaupun beda masa, ceritanya bikin kangen sama SMP 1 :'')

    ReplyDelete
  2. Silakan tulis pengalamannya waktu sekolah dulu :)

    ReplyDelete
  3. Wak...paten kali gambar kee...tipikal anak2 smp satoe jaman itu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gambar om Pnsbadung lebih patenlah. Kirem2 gambar wak, ntar aku muat

      Delete